Serpihan Melati

Kemarin malam, di saat aku lagi asyik online, Kak Sidiq sms aku.

"De kapan bisa ketemu kamu, kakak kangen? Dan ada yang mau dibicarain penting"


Lantas, jari-jariku pun menari lincah di keyboard hape.

"Bisa Kak, kapan maunya?"


"Besok jam 2 habis pulang sekolah tapi tolong kakak cuman kamu aja jangan kasih tau yang lain ini rahasia. Jangan cerita ke anggota lain. Besok kakak sms kamu lagi ketemu dimana ok..."


Aku tertegun, kaget dapat sms dari Kak Sidiq. Ehem, Kak Sidiq adalah pelatih Teater Melati, teater yang menjadi ekstrakulikulerku di sekolah. Setelah Kak Jaka, pelatih kami sebelumya, lepas tangan, Kak Sidiq dengan siap menggantikan tahta Kak Jaka. Kak Sidiq sendiri adalah alumni SMKN 1, dan tentu saja mantan Teater Melati. Kinerjanya bagus, sinar Teater Melati yang semula meredup kini berangsur-angsur terang kembali. Kembali merebut masa kejayaan yang dulu pernah kami cicipi. Aku dan beserta anggota teater Melati lainnya merasa sangat terbantu.  Trus, apa yang bikin aku kaget tertegun dapat sms dari pelatih yang kami sayangi itu? Yang bikin aku tertegun itu ada dua, yaitu..

  1. Kenapa mau ketemu aku? Ada apa? Bukannya hari minggu kemarin Ka Sidiq sudah mengadakan pertemuan di Untag, membicarakan yang penting itu? Sayangnya aku ga bisa datang waktu itu, karena kendala transportasi.  Jadilah Sari dkk yang datang, yang ga pernah absen saat-saat pertemuan teater. Kupikir, tanpa kehadiran akupun, pertemuan itu akan tetap berjalan. Lagian, aku bisa tanya-tanya ke Kiki apa yang dibicarakan Kak Sidiq ke mereka. Trus, untuk apa Kak Sidiq mengadakan pertemuan lagi? Hanya aku sendirian pula ! Apa yang mau dibicarakan? Kalau kemarin mereka jadi datang, ya berarti sesuatu yang penting yang mau diomongin sama Kak Sidiq itu udah selesai dong. Kok jadi gini?
  2. Gaya bahasa sms nya itu loh, rada ganjil. Ada satu kalimat yg menguatkan keganjilan itu, "Kakak kangen," dan "Tapi tolong kakak cuman kamu aja jangan kasih tau yang lain ini rahasia. Jangan cerita ke anggota lain." Ada yang bisa menangkap makna dari kalimat-kalimat ini? Aku bingung, sebegitu rahasiakah sampe ga boleh orang lain yang tau?  Bahkan anggota teater sekalipun juga ga boleh? Hal yang mau dibicarakan kan menyangkut masa depan Melati kan? Itu pasti, itu sudah pasti! Aku mencium hal-hal yang ga beres disini. Hush hush, aku harus mengusir pikiran yang ngelantur ini.

Smsin Kiki! Mungkin itu cara tepat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku.

"Ki, tadi jadi ketemu Kak Sidiq kah? Ngomomgin apa?"

Drrttt. Drrtt. Hape bergetar, tanda sms masuk. 

"Iya jadi.. Ngomongin tentang pelatih baru. Namanya Kak Ian Nari."

Satu balasan sms dari Kiki itu makin membuatku bingung. Bukannya terjawab, malah menimbulkan pertanyaaan baru.

"Loh, Kak Sidiq berhenti jadi pelatih? Kenapa Ki?"

"Bukaannnnnnnn. Kak Sidiq tetap ngelatih, tapi jadi asistennya Kak Ian gitu.."

Benar-benar gak ada yang beres!!



Keesokan harinya setelah malam itu, yaitu hari ini, Kak Sidiq sms aku lagi, memantapkan pertemuan kami. Aku tergesa gesa menuju tempat kami akan bertemu, di workshop sekolah. Tapi, Nina mencegat langkahku.

"Cha, kemarin kamu datang kah ke Untag?"


"Gak Nin.. Kamu ga datang kah? Kenapa?"

"Hapeku mati Cha, ku charge.. Eh, aku bingung nah, ih aku bingung Cha.. "


"Kenapa Nin? Bilang aja.."


"Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa ya?


Ternyata, Nina juga diajak bertemu sama Kak Sidiq! Dan Kak Sidiq cuma ingin ngomong berdua aja jangan sampe anggota lain tau. Pake bilang kangen dulu lagi sebelumnya. Pulang sekolah ketemu di workshop. Persis, persis banget! Apa maksudnya coba? Kami serasa dijebak. Dipertemukan secara gak sengaja. Kalau misalnya pengen ketemu sendiri-sendiri gitu, kenapa harus bersamaan waktunya? Tempatnya sama? Kami ga habis pikir apa maksud Kak Sidiq. Pikiran-pikiran negatif pun bermunculan. Aku dan Nina sama-sama berpikiran kalau kami bakal dimarahin habis-habisan. Aku berusaha mengingat-ngingat salahku apa ke Kak Sidiq, hmm bahkan salahku ke Melati.  Mungkin kami dipertemukan secara ga sengaja, pertemuan yang private ini, menunjang Kak Sidiq untuk menghabisi kami berdua. Hiiiii. Bulu kudukku merinding.
Aku memutuskan untuk pergi duluan ke workshop, sementara Nina nanti menyusul, supaya ga keliatan mencolok.

Nina sudah tiba, tapi Kak Sidiq belum datang-datang juga. Pas dia datang, refleks kami ga bisa memainkan sandiwara yang sudah kami rencanakan sebelumnya, yaitu kami pura-pura ga tau kalau akan saling ketemu. Ka Sidiq cuma tersenyum, lalu kami bertiga menuju lantai atas.

"Saya, sudah cari pelatih buat kalian. Kak Ian bersedia mau jadi pelatih. Tau Kak Ian kan? Yang waktu itu datang ke pelantikan? Kemarin, saya sudah omongin ke Kiki, Sari, Victor, Rudi, Reza, Arif, dan Wandi... Perkenalan sama Kak Ian, mulai atur struktur, perencanaan kita mau pentas tunggal. Habis itu,  ketujuh orang itu.. bilang langsung di depan saya dan Kak Ian, kalau mereka.. mengundurkan diri dari teater."


Tau apa yang aku dan Nina rasakan setelah mendengar perkataan Kak Sidiq itu? Lemas, limbung... Seperti ada yang hilang. Air mata berusaha ku tahan. Mungkin, lebih baik aku dimarahin habis-habisan ketimbang harus mendengar kabar buruk ini. Mereka... mereka yang sudah ku anggap seperti keluargaku sendiri, teater tempat kami bernaung... Mereka mengambil keputusan sepihak.
Cerita pun mengalir. Kata Kak Sidiq, kemarin mereka bertujuh seperti berdemo. Mengundurkan diri serentak, serempak, seiya sekata. Mereka berhenti ikut teater karena masih ada masalah pribadi yg harus diselesaikan, gak bisa membagi waktu. Tapi menurutku Kak Sidiq sendiri, mereka itu lemah mental. Labil. Aku dan Nina setuju banget.

Padahal, Kak Ian sudah memotivasi mereka bertujuh itu agar gak berhenti gitu aja. Pentas tunggal bulan November nanti gimana nasibnya kalau gak ada mereka. Belum lagi lomba musikalisasi puisi yang bentar lagi akan diadakan di pertengahan bulan Oktober. Sari, yang terkenal dengan suara emas Mariah Carey-nya, ditawarin buat ikut lomba musikalisasi puisi. Tapi ditolaknya. Gak biasanya Sari kayak gitu !

Mereka sudah mantap melepaskan diri dari Teater Melati. Kenapa ya mereka gak cerita dulu sama aku dan Nina kalau mau keluar? Kenapa mereka lepas tangan gitu? Kenapa harus mereka semua? Kiki, sang bendahara yang disiplin. Sari dan Reza, koordinator anggota. Victor, ketua teater. Mereka selalu bekerja keras, tak kenal kata menyerah. Malah aku yang seringkali cepat nyerah, ngeluh, capek sendiri. Kenapa mereka serapuh itu? Lagi-lagi kata "kenapa" !

Kata Ka Sidiq, bertujuh itu adalah orang yang labil, kalau sudah nge-fly, tinggi banget nge-fly nya. Coba kalau sudah down, nyungseppppp banget. Kak Sidiq menceritakan semua itu dengan linangan air mata tertahan. Aku tahu dia sedih, sama seperti yang aku rasain. Sebenarnya apa alasan mereka keluar dari teater? Capek? Terkekang? Gak ada waktu? Iya sih, kadang-kadang aku suka ngerasa capek. Muak dengan ini itu, tetek bengek latihan teater. Atur schedule, me-manage anak-anak kelas satunya. Ada keinginan terbersit untuk keluar aja. Tapi, kalau aku ingat anak-anak kelas satunya, aku jadi sedih. Anak-anak kelas satunya antusias banget, aku senang. Aku ga mau ngecewain mereka. Kak, latihannya kapan Kak? Kak, ngumpul dimana? Kak, formulirnya kapan diserahkan? Kak, kapan pelantikan? Kak, bawa baju ganti kah? Pertanyaan-pertanyaan antusias itu yang menguatkan aku untuk tetap teguh di melati. Melihat wajah sumrigah mereka sehabis latihan, wajah murung mereka ketika tanggal pelantikannya diundur, wajah polos mereka saat kami menjelaskan ini dan itu tentang teater.. Mereka perlu dibimbing, diayomi.. Tapi, bertujuh itu mangkir dari tugas mengayomi anak-anak kelas satunya. Aku ga habis pikir. Emang mereka pikir aku gak capek? Aku juga capek tau. Prinsipnya, mereka egois. Baik, aku harus hargai keputusan mereka. Kak Sidiq aja sudah ikhlas lilahita'alla tuh.

Kini, yang tersisa hanya aku, Nina, Wahyudi, dan Oji. Rita, Bece, Melinda, masih diragukan. Aku yakin 100% Rita dkk bakal ikut keluar juga. Mereka kan satu bubuhan. Hiks.
Apa yang bisa diharapkan dari kami? Wahyudi, sibuk dengan OSIS nya. Oji, hmmm gak usah ditanya. Nina? Kadang-kadang ga boleh pulang sore. Bukan kadang-kadang sih, sering malah. Sedangkan latihan teater menghabiskan waktu seharian. Aku? Ah, aku?


Aku, pasti bakal kangen sama mereka. Kangen  Victor yang melatih anak-anak kelas satunya dengan gaya sok seriusnya plus cengengesan, jahil, usil. Saat Kiki menghibur anak kelas satunya yang lagi nangis karena pengaruh peran yang dimainkan. Sari yg dengan tegasnya membuka rapat teater. Reza dengan seronoknya membanyol, bikin kami ngakak. Arif yang alim tapi gak kolot, lucu banget. Wandi dan Rudi yang bertolak belakang, yang bertingkah semau gue dan banyak ulahnya.... Mereka benar-benar ga ikut teater lagi. Kami ga bakal bisa latihan bareng lagi :(


Mau gak mau aku harus merombak struktur organisasi lagi. Membangun pondasi teater melati, tanpa mereka bertujuh. Kak Sidiq banyak berharap pada aku dan Nina. Meski kami cuek pada masalah teater, tapi kami loyal. Begitu kata Kak Sidiq. Entah apa artinya loyal. Yang jelas, yang kami tau, kami masih jauh lebih kuat dibandingkan mereka. Itu saja.


Tanggung jawab besar ini harus kami emban. Kami harus memikirkan pelantikan buat kelas satunya, struktur organisasi, proposal, lomba musikalisasi  puisi, pentas tunggal bulan november nanti. Kami ga boleh bertanya tanya terus-terusan kenapa mereka kayak gitu. Hanya langsung dari mulut mereka sendiri kami bisa tau jawabannya.


Aku dan Nina, adalah serpihan melati. Kami sebenarnya rapuh, tapi berusaha beradaptasi sehingga gugurnya kami gak terjadi. Aku, Nina...., janji gak akan gugur. Meski kemarau sekalipun. Selamanya kami punya kekuatan.
Kami adalah serpihan melati, yang berusaha mencari pucuk kami, tangkai penopang kami, mencari serpihan lain, lalu merangkainya menjadi bunga melati yang harum mewangi.


God bless us.

You Might Also Like

1 komentar

  1. Teruskan menulisnya ....... TulisanMu Bagus
    Dari Ka Ian.
    tertanda ka ian

    BalasHapus