Mari Tertawakan Diri Sendiri

Tadi pagi aku ngeliat pemandangan yang ga biasa. Nuri dikelilingi tiga sahabatnya, duduk berkelompok sambil bergosip ria. Itu yang ga biasa? Bukan, bukan itu. Yang ga biasa itu airmata yang mengucur deras dari muka Nuri. Mulutnya komat-kamit menceritakan sesuatu, sesuatu yang seolah-olah beratttttt banget baginya. Ada apa ya sama dia?

Anak imut yang terkenal rajin itu, terkenal juga dengan reputasinya sebagai anak osis yang saban hari jumat kowar-kowar hijrah dari kelas ke kelas buat minta sumbangan. Dia ga sendiri, ada tiga teman yang menemaninya. Ada Nia, si cewek berjilbab berjiwa kepimpinan tapi cenderung gegabah, jago dalam pelajaran bahasa inggris. Nabila, rambut melewati bahu dan senyum ramahnya membuat dia mudah dikenali. Dia juga pake kacamata. Lalu Selvi, aku sama sekali ga nyangka kalau dia masuk dalam 'perkumpulan' pintar itu. Aku ga bermaksud merendahkan dia kok. Aku cuma ngerasa ada yang kontras ada. Dulu aku pernah satu sekolah satu kelas sama dia waktu SMP. Seingatku, dulu dia suka berkumpul dengan anak-anak yang cantik, tenar, impian semua cowo deh. Dia anak berada, dancer, cantik... Tapi sekarang dia ga bergaul dengan anak-anak semacam waktu dia  SMP. Baik, ga sombong lagi. Sedangkan Nuri, nah seperti yang udah ku bilang sendiri, Nuri itu rajin. Mereka adalah sekelompok anak pengejar nilai tinggi dan perhatian ekstra dari guru-guru mata pelajaran apapun.Mereka semua anggota osis. Lantas akau berpikir, apa mereka sempat memikirkan cinta? Kurasa waktu mereka telah habis separonya untuk memanjakan buku-buku pelajaran. Lalu, apa yang membuat Nuri sampe nangis sesenggukan kayak gitu? Sampe merempet-rempet ke masalah smsan-smsan lagi. Apa ada masalah keluarga? Keuangan? Persahabatan? Atau... cinta?? Jiwa kewartawananku sontak bangkit.

Dea pun beramsumsi. Pasti itu masalah cowo, cowo, cowo. Nuri putus sama Danimo, itu dugaan Dea, dan tentu jadi dugaanku dan dugaan anak-anak lainnya. Suudzon itu ga boleh sih, tapi faktanya bener-bener nunjukin kalau Nuri lagi galau karena cintrong. Nangisnya jingkar, trus habis nangis malah makan nasi campur. Benar-benar gejala kalau orang capek nangisi cowok terus  (apa hubungannya coba?)

Disini aku ga bermaksud ngomongin Nuri. Nuri itu sumber inspirasiku dalam memulai paragraf postingan blogku ini #tsaaahhh. Gini loh, aku ngerasa aneh aja, ganjil, dan sebagainya lah. Ketika ngeliat orang nangis karena kehilangan uang dengan ketika ngeliat orang nangis karena habis putusan, beda loh sensasinya. Pertamanya samasama ngerasa simpati, trus berusaha buat nenangin sebisa mungkin, ngebiarin dia tenang dulu sampai dia ga nangis lagi. Kalau bisa coba kasih solusi yang tepat. Tapi bedanya, kalau ketika teman kita kehilangan uang, habis nangis dia akan sadar kalau uang itu ga akan kembali, meski udah berusaha sebisa mungkin, seperti lapor ke polisi, konsultasi ke dukun (iihh syirik). Toh buat apa ditangisin kan? Nah kalau liat teman kita yang kehilangan pacarnya, dia akan terussssss aja nangisin pacarnya itu, mengeluh, begalau, merutuki, ngomong kata-kata kasar. Kita yang dengar jadi bingung kan? Padahal teman kita itu udah jelas-jelasnya tau kalau pacarnya itu jahat, pengkhianat, ga gentle, ga bakal kembali, bukan jodoh, tapi keukeh aja ditangisin sebegitu rupa. Udah dibilangin jangan jangan nangis, tetap aja mucil. Bodoh, lucu, alay! Nangis terus! Kayak anak kecil! Mau-maunya ai nangis terus-terusan, emang ga ada kah cowok yang lebih dari dia? Pikirku

Haha, aku jadi serasa ngomongin diri sendiri ya? Aku ini mucil, ga bisa dibilangin. Masih bersikukuh nangis aja, padahal udah dilarang mati-matian. Bodohnya, aku menangisi hal yang sama. Obyek yang sama.Mungkin bukan hanya aku yang begini, teman-temanku juga begini kan. Remaja lumrahnya begini kan?  Selalu identik dengan cinta. Cinta yang belum matang, makanya nangis terus. Lantas, ketika aku menangis kayak Nuri tadi, kenapa aku ga nyadar kalau hal itu menjijikan. Aku tersenyum menahan tawa miris ketika melihat orang nangis karena putus cinta, sedangkan aku sendiri? Ketika aku nangis, aku seakan sudah lupa semuanya. Lupa setiap pendapat orang lain, tawa orang lain yang menertawakan kebodohanku. Aku yang lebih bodoh! Apa bedanya aku dengan Nuri, kami sama-sama menangis hebat kayak gitu kan? Ga usah ngetawain tangisan orang, Cha!

Mungkin Nuri akan lupa tentang masalahnya setelah dia nangis kayak tadi. Dia jauh lebih tegar dari aku. Menangis sepuas-puasnya sampai lega, setelah itu hilang ingatan mengenai masalahnya. Bukan seperti aku, menangis dengan airmata tertahan, bersembunyi di balik rintik hujan dan bantal guling kala malam. Tak pernah ku habiskan. Selalu ku sisakan untuk malam besok dan besoknya lagi. Mungkin Nuri akan dapat solusi dari permasalahannya. Dan aku, dapat juga. Tapi berbeda. Memang betul ya pepatah bilang semut di sebarang nampak, gajah d pelupuk mata tak tampak. Huaaa aku ga mau jadi bodoh lagi TT

Sebisa mungkin aku akan coba memandang positif dari segala hal, yang baik maupun yang buruk. Agar aku ga menangis lagi. Tertawa itu sepertinya membuat semuanya lebih mudah.
Mari tertawakan tangisan konyol itu sendiri !

You Might Also Like

0 komentar