Gugup Itu Wajar, Bahkan Untuk Guru Sekalipun

Ada yang berbeda di hari Kamis kemarin. Di jam 3-4 yang harusnya diisi oleh Pak Falah, guru seni budaya, malah diisi oleh Bu Yayuk, guru matematika. Aku rada bersyukur, karena otomatis pelajaran seni budaya ditiadakan pada hari itu. Yeaah, dulu aku memang suka seni budaya, tapi seni budaya waktu kelas X itu mengenai teater, makanya aku suka. Lah kalau seni budaya yang sekarang di kelas XI ini, gambar menggambar boo. Aku lemah dalam soal itu. Mencocokkan warna aja aku ga fasih, apalagi membuat sebuah gambar. Ditambah dengan gurunya yang masih kalah asyiknya dibanding Bu Ida, guru seni teater Aku juga ga suka pelajaran matematika. Anti banget, lemah banget. Tapi, berkat hadirnya Bu Yayuk, aku mulai membuka hatiku buat matematika. Ibunya baik sih, ramah, murah senyum, masih berumur kepala dua, cantik, imut-imut pula. Cara ngajarnya juga gape, mudah dimengerti. Apalagi waktu kelas X, ibunya jadi wali kelas X AP 2. Mengayomi, menyayangi, mengabdi. Seringkali jadi pelacur (pelabuhan curhat) murid-muridnya. Aku benci matematika, tapi aku suka Bu Yayuk.

Lanjuttt. Bu Yayuk ngajar di jam Pak Falah karena akan ada pengawas dari Jakarta, yang akan mengawasi ibunya dalam mengajar. Bu Yayuk dalam masa training, mengingat umur ibunya yang masih muda itu. Sorot kamera dari kiri kanan depan belakang #tsaaaah menyemarakkan kelas kami. Kami sibuk bertanya sana sini.

Bu Yayuk pun masuk kelas, diiringi dengan dua pengawas berjenis kelamin laki-laki bertampang wibawa. Tak ada gurat senyum seperti yang biasa ditunjukkan Bu Yayuk setiap memasuki kelas memulai pelajaran. Yang ada malah sebentuk wajah gugup. Para pengawas itu mengambil tempat duduk paling belakang kemudian menegakkan kepala mereka menghadap ke depan. Suasana menjadi tegang. Harusnya kami bisa bebas mengekspresikan diri lewat kamera yang bersorot. Tapi nyatanya, kami cuma diam. Salah-salah gerak bisa membuat nilai Bu Yayuk jadi jelek.

Tumben banget ibunya salah-salah ngomong. Beberapa kali Bu Yayuk salah menyebut angka ini, jumlah itu. Pas kami ditanya ini itu jawabannya apa, kami malah diam terpaku. Sebenarnya soalnya gampang bangte, tapi bibir mendadak kelu. Takut gitu nah. Mana pengawasnya langsung maju kedepan, mengkritik hasil hitungan Bu Yayuk yang salah. Ga biasanya banget Bu Yayuk begitu. Sumpah down abis.

Nia pun diberi amanat Bu Yayuk untuk maju ke depan, membuat titik potong kah kalau ga salah. Kami pikir Bu Yayuk tepat memilih Nia untuk maju ke depan, untuk memperlihatkan anak-anak X AP 2 itu pintar dan percaya diri. Ah ternyata salah. Nia malah nanya-nanya ke sana kemari, seolah-olah dia gatau titik potong itu apa. Ini panjang kah, itu pendek kah, trus kalau dikasih tau malah ngedumel-dumel sendiri. Kami, termasuk aku dan Reni,mengernyitkan dahi. Inikah anak yang dibangga-banggakan karena kepintarannya? Bu Yayuk cuma bisa mengurut-ngurut kepalanya sambil menahan senyum miris.

Eh Nia malah bikin garis-garisnya doang, ga diselesaikan titik-titik potongnya. Aku menghela nafas. Pengen ketawa tapi kok jahat banget ya keliatannya. Reni melirikku, habis itu langsung ketawa. Jadi ikutan ketawa juga deh. Tiba-tiba Bu Yayuk menyodorkan penggaris dan spidol ke depanku. Bahasa tubuhnya mengisyaratkan aku agar maju ke depan menyelesaikan soal di papan tukis itu. What?  Disuruh ngerjakan soal matematika? Eh ganti pertanyaan, Kenapa aku yang disuruh ngerjakan soal itu? Padahal ada Audya, ada Reni, ada Emi, ada yang lain yang pasti ga bakal bikin malu Bu Yayuk. Aku kan lemah di matematika. Sudah kepalang basah, akhirnya aku maju dengan tangan gemetar, menggoreskan spidol membentuk titik potong. Huufh semoga ini benar titik potongnya, doaku tulus. Aku menatap Bu Yayuk, dan beliau tersenyum tanda jawabanku itu benar. Pake bilang kalau aku pintar lagi. Hahaha, tingkat kepedeanku menggelegak. Lumayan lah, citraku jaid baik di mata para pengawas beringas itu #uupssss. Aku kembali ke tempat dudukku dengan senyum kemenangan, karena telah mengungguli Nia meski  ga seberapa.Sombong dikit boleh ya?

Para pengawas pun mulai bergegas, mengingat waktu mengawas mereka telah habis. Salah seorang dari mereka maju ke depan, menunjukkan nilai yang didapatkan Bu Yayuk. 90 nilainya. Nice.  Kami berdecak kagum. Padahal beliau dan termasuk kami juga sih, ngerasa kalau pertunjukkan matematika kami kurang memuaskan. Mungkin karena Bu Yayuk cantik kali ya, haha

Kelar semua. Bu Yayuk langsung curhat sama kami begitu para pengawas itu melenggang keluar kelas.. Lelah, letih, lesu, lunglai #iklansangobionlewat. Dirasakan Bu Yayuk begitu gugup. Beliau bilang kalau bahan-bahan buat presentasi ngajar matematika hari itu dipersiapkan dadakan. Dadakan banget, itu pun bahan presentasinya bukan dari laptop Bu Yayuk, tapi laptop Pak Falah. Habisnya Pak Falah tiba-tiba ngasih taunya ga jauh-jauh hari. Laptop Bu Yayuk habis baterainya. Pantas aja agak gagu Bu Yayuk tadi. Bu Yayuk sempat kaget begitu lihat nilainya 90. Bu Yayuk menceritakan semua itu dengan gelak tawanya yang khas, dan tentu  saja dengan senyumnya yang manis. Oh Bu Yayuk, Ibu tetap cantik meski keringat dingin gugup begitu #eaaaa

Seorang guru, yang profesional sekalipun, tetap merasakan apa yang namanya kegugupan. Ketakutan. Keraguan. Untuk melakukan suatu  hal pertama kali, kegugupan tak luput. Gugup itu normal. Jangan pernah menyepelekan orang yang lagi gugup. Pelecehan itu namanya.

Dan bersyukurlah bagi yang masih merasakan kegugupan, karena guggup menunjukkan kita takut untuk melakukan kesalahan, sehingga kita terpacu berusaha untuk jadi yang terbaik :)

You Might Also Like

0 komentar