Kelas Dua = Masa Rekreasi

Kata orang, masa kelas satu dalam jenjang pendidikan itu adalah masa adaptasi. Lalu kelas dua adalah masa masa rekreasi. Kelas tiganya? Ah aku lupa.  Intinya masa masa kelas tiga itu masa perbaikan diri, entah apa namanya. Dikatakan masa adaptasi karena di masa itu kita memasuki lingkungan sekolah yang baru, sistem belajar mengajar yang baru. Ngerasa kaku, taat, patuh, rajin, karena takut kena hukuman yang ketat plus ribet. Adaptasi dengan kakak kakak kelas dengan berbagai macam watak, dengan beraneka ragam guru killer . Adaptasi dengan teman-teman baru. Menurutku, masa adaptasi kelas satu sangat menyenangkan.

Aku mulai sadar kalau di kelas dua ini aku adalah makhluk pemalas, ketika aku dipasangkan oleh Yang Maha Kuasa sebangku dengan cewek berjilbab bernama Ariesta Rachmadillah dari kelas X Ap 1. Dia sumber makanan bagi anak-anak AP  yang kelaparan di jam istirahat yang malas ke kantin, singkatnya dia menjajakan makan siang untuk anak anak AP dari kelas ke kelas. Aku adalah salah satu pelanggan setianya. Dia memang rajin, ulet, tekun, ciri ciri wirausahawanita banget deh pokoknya. Berhubung aku ga sekelas sama dia waktu itu, aku taunya dari kisah kisuh anak sebelah aja.

Waktu hari pertama turun sekolah kenaikan kelas, aku memasuki kelas dengan langkah gontai. Sedih sih, dinyatakan ga sekelas dengan Dea dkk. Nina sekelas denganku. Aku sudah terbiasa ga sekelas sama dia. Malah aneh kalau kami sekelas. Bersaing dengan sahabat sendiri rasanya agak berat. Ditambah lagi dengan tangisannya yang semerbak begitu dia tau kalau ga sekelas dengan bubuhannya waktu kelas satu. Dia sedih banget ya kayaknya, jarang-jarang banget dia nangis kejer kayak gitu. Sekelas sama aku mungkin dia biasa aja. Bikin aku jadi tambah miris ngeliatnya. Sudah ga sekelas ama Dea, Dina, Chintya, dan Eka , ga dianggap lagi sama Nina. Ah sudahlah, itu bukan masalah. Toh nanti aku juga terbiasa kan.

Pertemuan kami terbilang aneh. Awalnya aku memilih duduk di belakang, Karena hanya tempat itu yang tersisa. Padahal aku pengen duduk di depan, melestarikan kebudayaan duduk-di-depan-merupakan-siasat-jitu-menjadi-beken-di-kalangan-guru yang sudah mengakar sejak SD. Eh pernah sih aku duduk di belakang, tapi ga di belakang-belakang banget sih, kalau ga salah di baris keempat dari depan. Kan bangku berderet sepanjang lima sampai enam urutan atau baris dari depan. Kalau dari samping kanan atau kiri sekitar empat baris. Waktu SD kelas 6 aku duduk di baris pertama dari depan urutan ketiga dari samping kiri. Kelas satu SMP aku duduk di belakang, baris keempat dari depan urutan kedua dari samping kanan. Kelas duanya, sama kayak waktu SD. Kelas tiganya, aku duduk di baris pertama dari depan urutan ketiga dari kanan. Kelas satu SMK, aku duduk di pojok kanan dan tentu saja duduk di depan. Cukup menarik kan sejarah dari pelestarian tradisi serta kebudayaanku itu? Cekacekaceka ga penting ah, balik lagi ke main topic. Nah tepaksa ai aku duduk di belakang itu, paling belakang urutan kedua dari kanan. Di sela dumelanku tentang tempat duduk yang ga pewe itu, tiba-tiba Reni datangin aku. Dia bilang kalau lebih baik duduk di depan aja. Ku tengokkan kepalaku ke bangku depan, dan kudapati Ariesta duduk sendirian. Ih ren, aku udah terlanjur duduk di sini. Dialog antara aku dan Reni terpecah oleh tiga cewe teman sekelas kami dulu. Salah satu dari mereka ingin duduk di sebelahku. Dua lainnya mengambil dua bangku, dan diletakkannya di belakang bangkuku. Aku hooh hooh aja. Tapi aku sadar kayaknya aku kurang nyaman kalau duduk sama mereka. Soalnya mereka tipikal cewe-cewe metropolis yang kerjaannya mengurusi kecantikan diri bukan nilai raport. Sudahnya aku bobrok kayak gini, kalau duduk sama mereka tambahnya ai bobrok. Aku nekat memanggul tas dan meluncur ke bangku depan, duduk di sebelah Ariesta.

Hari pertama, kami saling canggung.  Say hello sekedarnya.
Hari kedua, aku kebablasan ketiduran di kelas seperti biasa. Dia speechless. Kayaknya agak ilfeel  sama aku.
Hari ketiga, aku ngegosipin Bu Tuti sama Reni sambil cekakak-cekikik. Lantas dia mengetukkan meja pake pulpen, menepuk pundakku, dan bilang “Sssttt diam, Ibunya lagi ngomong”. Mendadak aku balik badan menghadap Ibu Tuti. Mencoba konsen. Reni masih keukeh melanjutkan cekakak-cekikiknya.
Hari keempat, LKS IPS ku ketinggalan. Dengan santainya aku ongkang ongkang kaki dengerin lagu, sedangkan dia ngerjakan tugas LKS IPS. Bayangkan aja,  seorang cewe berambut sebahu berantakan tampak asyik manggut-manggut dengerin lagu hentakin kaki, dan disebelahnya terdapat seorang jilbaber yang tekun mengerjakan lembar demi lembar LKS, yang sesekali merasa terusik dengan senandungan false dari cewe disebelahnya. Kontras banget.
Hari kelima, aku minta izin buat tidur sampe jam istirahat ke dia, supaya rasa ilfeel-nya ke aku jadi agak berkurang. Aku gatau itu ngaruh apa nggak, yang jelas aku ga mau dia tiba tiba pindah ke lain bangku.

“Ta, aku tidur ya, bosan nah gak ngapa-ngapain.” Tuturku sesantun mungkin ( santun? —‘ ). 

“Kamu tidur terus dari kemarin. Tidur jam berapa kamu?”

“Mmmh aku ga tau Ta, pokoknya pas Bukan Empat Mata udah habis tu nah, baru aku tidur..”



“Astaghfirullah, itu jam setengah 12. Pantesan aja. Aku juga sering tidur jam segitu.”



“Hah? Wah sama dong kita. Tapi kamu kok tahan ya ngantuknya?”


Bukannya tidur, malah asik ngobrol sampai istirahat –‘

Hari keenam, Pak Sudio lagi show di depan kelas. Mempertunjukkan pelajaran bahasa inggris yang have fun itu. Ariesta tampak lesu mengikuti pelajaran. Disaat jari jemariku lincah berselancar di lembar jawaban LKS, dia hanya terpekur diam. Ga biasanya dia diam gitu, biasanya ada aja yang dikerjainnya kalau pelajaran sedang berlangsung. Ternyata dia kurang memahami pelajaran bahasa inggris. Dan dia terlihat lebih unggul dalam pelajaran matematika dibandingan aku. Wah, kami terlihat sangat kontras sekali. Tau aja kan kalau aku lemah melemah dalam hal mematik-matika. Sejak saat itu, kami jadi saling melengkapi. Kalau aku kesusahan ngerjakan matematika, dia bantuin aku. Aku pun juga gitu. Walau aku ngerasa masih kalah rajin dibanding dia~~~

Keenam hari itu mengawali persahabatan kami hingga sekarang. Sudah ga kerasa hampir empat bulan aku duduk sama dia. Sekarang kami mulai tau pribadi masing-masing. Dia tau sifat pengantukanku, sifat nyablakku, cerobohku, paniknya aku, kadar malasku yang naik turun. Di dirinya, banyak sisi lain yang bisa aku temukan, yang sebelumnya ga pernah ku duga. Seperti layaknya kubus yang punya banyak sisi, Ariesta punya banyak sisi yang dilengkapi oleh rusuk-rusuk jilbab anggunnya. Ariesta punya tawa lepas dibalik senyum manis kalemnya. Ariesta punya jiwa jahil yang tinggi di setiap ide-ide spontannya di kala bosan sedang melandanya. 

Aku ga nyangka dia bisa tertidur di saat istirahat, mengikuti jejakku. Dia ga pelit, rela membagi bekal makanannya sama aku. Sukses, aku menghabiskan separo bekalnya. Enak banget nyam nyam. Untung aja dia berbaim hati berlapang dada menerima kenyataan kotak bekalnya habis tak bersisa. Di saat bosan nyatat pelajaran Bu Neni, dia gangguin Reni sampai bikin aku dan Kartini ngakak. Ntar yang ini aku ceritain di postingan selanjutnya yaa.

Aku kadang iri dengan sifat ulet dan rajinnya. Pengen niru sih, tapi apa daya. Oh iya, di samping itu, dia juga teguh dalam berpendirian. Ga seperti aku yang plin plan dan lelet.
Banyak sifat yang ga ku punyai, ada pada dia. Aku kagum loh sama kamu, Ta.

Aku harap, masa-masa kelas dua ini dilewati dengan rekreasi yang menyenangkan sampai akhir. Bukan menyenangkan, mungkin lebih tepatnya rekreasi yang bermanfaat. Bermanfaat dalam artian dapat membuatku menjadi anak yang rajin, yang lebih baik. Yang ga mikirin senang2 nya aja. Jujur aku ga mau ngulang masa-masa kelas dua waktu SMP dulu. Kelam abis soalnya. Isinya hanya manian, ngeluyur, ga ngerjain PR, tidur di kelas, pacaran (hiks hinanya). Aku jadi ngerasa minder berdampingan dengan Ariesta. Setiap dia nanya "Udah ngerjain PR kah cha?", dengan wajah polosnya, rasanya aku tertohok. Malu eh, dan kenapa ya pas dia tanya itu pasti aku belum ngerjakan PR. Rasanya pas banget gitu nah. Aku jadi terpacu untuk rajin ngerjain PR. Awalnya karena ga pengen keliatan payah di depan Ariesta. Lambat laun aku pun menyadari bahwa PR adalah kewajiban seorang murid untuk mendapatkan haknya berupa nilai bagus. Virus rajin Ariesta menjangkitiku. Merusak sistem kekebalan malasku. Aku sadar sekolah bukan mainan, bukan tempat pelarian dari jenuhnya berada di rumah. Bukan, bukan itu lagi. Sekolah tempat bersaing, tempat berebut ilmu, yang tentu saja dengan cara sportif. 

Kelas dua memang benar-benar masa rekreasi. Jalan-jalan meniti ilmu, merajut tugas sekolah yang perlu diselesaikan, menikmati pemandangan berupa nilai bagus yang terpampang di raport.
Makasih Ariesta, kamu buat masa-masa rekreasiku jadi menyenangkan dan bermanfaat.

You Might Also Like

0 komentar