"Tumbennya mau nonton film animasi. Habis makan apa?"
Aku mengumpat sekenanya begitu dapat respon dari Dina itu via Whatsapp, atas ceritaku berupa Din-aku-mau-nonton-Coco.
![]() |
Satria bergitar |
Ya, sekenanya. Selain karena aku masih di kantor (kalau di rumah udah pasti aku langsung kirim voice note isinya umpatan disertai ngakak-ngakak kesal), aku juga ngerasa harus ikhlas kalau dikasih respon cukup bajingak itu. Sebenarnya wajar kalau Dina heran sama aku yang tiba-tiba pengen nonton film animasi. Direkomendasiin film animasi sama dia, yang tinggal download atau streaming aja aku ogah.
LAH INI MALAH MAU NONTON DI BIOSKOP. NONTON SENDIRIAN PULA.
Dina, dan beberapa teman dekatku lainnya udah hapal kalau aku nggak terlalu suka film-film animasi. Film fantasi dan kolosal juga nggak suka. Pokoknya yang berbau 'dunia khayalan' itu entah kenapa bikin aku nggak tertarik buat menjamahnya. Termasuk Harry Potter (film series) yang banyak penggemarnya itu. Aku ngerasa nggak mencintai film apa adanya, karena masih pilih-pilih. Huhuhuhu.
Tapi aku cukup 'kenal' film-film animasi brojolan Pixar. Aku pernah menjamah film-film Pixar, tapi bukan murni karena kemauanku. Pernah nonton Inside Out karena nggak sengaja pas lagi nangkringin HBO. Pernah nonton Wall-E, itupun karena dipaksa sama mantan.
Udah itu doang. Film Up-nya yang melegenda itu aku belum pernah nonton. Sampe bikin kaget Mr. gRey alias Reyhan Ismail.
Tapi sore kemarin, aku mutusin buat nonton Coco karena kemauanku sendiri. Sebenarnya penasarannya udah dari waktu Ansel Elgort memuja-muji film ini lewatnya twitnya. Terus aku urungkan. Habis itu mulai bangkit lagi pas baca review-nya Cinetariz. Sempat nggak nulis dalam waktu yang cukup lama, eh pas muncul, nulis Coco. Habis itu ngilang lagi. Seolah-olah kayak demi Coco, nyempetin buat nulis lagi.
Eh habis itu loyo lagi semangat mau nontonnya.
Sampai akhirnya aku baca review-nya Mbak Niken soal Coco, terus terpaku di bagian,
"Saya sebenarnya nggak pernah terlalu suka sama film-film animasi (hal ini lumayan aneh sih mengingat kerjaan saya berhubungan dengan dunia kreatif dan saya juga suka sesuatu yang colorful)."
Kalau kata Mz Don, itu sih "Aq af."
Bajingaks. Ternyata aku nggak sendirian yang nggak terlalu suka film-film animasi. Ternyata ada juga cewek menggemaskan selain aku yang nggak suka film semenggemaskan film animasi. Kirain cuma aku doang.
Oke, silakan muntah....
Review-nya pun menjelaskan kalau Mbak Niken suka banget sama Coco.
Anjir. Anjir. Anjir.
Itu udah kayak perintah buatku. Perintah kalau aku harus segera nonton Coco.
Anjir. Anjir. Anjir.
Itu udah kayak perintah buatku. Perintah kalau aku harus segera nonton Coco.
Besoknya, yaitu sore kemarin, aku nonton Coco. Film yang disutradarai Lee Unkrich itu resmi jadi film animasi pertama yang aku tonton di bioskop.
Seperti biasa, aku datangnya sengaja mepet sama jam tayang. Filmnya tayang pukul 19.15, dan nyampe di Cinema XXI Samarinda Square pukul 19.05. Masih ada waktu buat leha-leha di dalam teater, tapi nggak ada seat F kosong yang tersisa buatku. Anjir, itu seat favorit sepanjang hayat. Akhirnya aku milih seat G, paling pojok. Sambil berdoa semoga aku nggak sebelahan sama orang pacaran.
Begitu masuk dan beberapa saat kemudian filmnya mulai, penonton nggak langsung dipertemukan dengan Coco. Tapi dengan film pendek berjudul Olaf's Adventure yang isinya sekumpulan karakter dari film Frozen. Filmnya cukup bagus, tapi sempat bikin aku bingung karena aku nggak ngikutin Frozen. Ada momen di mana aku nyaris ketiduran, terus nepokin pipiku sambil memaklumi diriku sendiri.
Nggak papa, Cha. Nggak papa hampir ketiduran. Kamu cuma lelah bukannya bosan. Kan nontonnya ini di jam pulang kerja.
Ada juga momen di mana penonton di sebelahku ngakak. Penonton berwujud seonggok mas-mas. Biar diterima pergaulan teater bioskop, aku ngikut ngakak kayak dia dan kayak penonton lainnya.
Padahal aku nggak tau apa yang lucu.
Padahal aku nggak tau apa yang lucu.
HUAAAAAAA. INI AKU MEMANG BUTA SAMA FILM ANIMASI APA YA....
Untungnya setelah sekitar dua puluh menitan, akhirnya aku bisa nyaksiin Coco.
Bercerita tentang Miguel Rivera (Antonio Gonzalez), bocah umur 12 tahun yang mencintai musik melebihi cintanya dirinya sendiri. Atau bisa dibilang melebihi cintanya pada keluarganya sendiri. Dia ngerasa lahir di keluarga yang salah, keluarga yang benci mati-matian sama musik.
Kebencian itu diwariskan turun temurun oleh Mama Imelda (Alanna Ubach), nenek leluhur Miguel yang udah meninggal. Mama Imelda punya trauma yang mendalam sama musik karena ditelantarkan suaminya. Sang suami, kakek leluhur Miguel, sang musisi, lebih memilih musik daripada keluarga. Karena insiden itu, keluarga Rivera mengharamkan turunannya menjadi musisi, layaknya ulama yang mengharamkan mendengarkan musik karena bisa membuat umat Islam jadi lalai beribadah.
Miguel menjalani hari-harinya dengan bermain musik secara backstreet dan menjadi bagian dari keluarganya, yaitu keluarga pembuat sepatu dengan tenang, meskipun dalam hatinya menjerit, "Ini bukan jalan gue." Walaupun begitu, Miguel menyayangi keluarganya, terutama menyayangi nenek buyutnya yaitu Mama Coco (Ana Ofelia Miguea). Miguel menjadikan Mama Coco sebagai teman bermain maupun teman curhat.
Oh iya, di momen Miguel bareng Mama Coco, aku jadi ngebayangin Robby Haryanto sama Mamanya. Kalau yang dari aku baca di blognya, Robby ini suka curhat sama Mamanya. Tapi kayaknya Mamanya Robby masih belum tau, kalau anaknya itu suka gonta ganti pacar setiap pergantian tahun ajaran baru.
Balik lagi ke Miguel, si anak lugu.
![]() |
Miguel yang fetish pada gitar. |
Miguel menjalani hari-harinya dengan bermain musik secara backstreet dan menjadi bagian dari keluarganya, yaitu keluarga pembuat sepatu dengan tenang, meskipun dalam hatinya menjerit, "Ini bukan jalan gue." Walaupun begitu, Miguel menyayangi keluarganya, terutama menyayangi nenek buyutnya yaitu Mama Coco (Ana Ofelia Miguea). Miguel menjadikan Mama Coco sebagai teman bermain maupun teman curhat.
![]() |
"Nek, main yok." |
Balik lagi ke Miguel, si anak lugu.
Dia de los Muertos alias Hari Kematian ala Meksiko jadi hari yang menimbulkan reflek kejutan bagi Miguel. Miguel dapat fakta kalau Ernesto de la Cruz (Benjamin Bratt) adalah kakek leluhurnya sendiri. Ernesto de la Cruz adalah musisi idolanya, sekaligus junjungan para penduduk Santa Cecilia, kota di mana Miguel tinggal. Terus Miguel terdampar di Land of The Dead, dunia di mana orang mati bersemayam.
Di sana dia ketemu anggota keluarganya (dalam wujud tengkorak semua) yang selama ini cuma bisa dia temui di foto. Sampai akhirnya dia memutuskan mencari keberadaan Ernesto de la Cruz dengan bantuan Hector (Gael Garcia Bernall), seonggok tengkorak yang berpenampilan layaknya tunawisma.
Btw, tadi pas gugling, ternyata Benjamin Bratt itu pernah main di Miss Congeniality, jadi agen FBI ganteng. Pantasan kayak pernah liat di mana gitu pas gugling fotonya. Aaaaaaak!
Seterusnya, aku ingin berkata...
COCO BAGUS BANGET, BAJINGAAAAAAAAAAAK.
Bukan, bukan karena aku pedofil jadinya aku engas nonton Coco di mana ada penampakan anak umur 12 tahun. Bukan juga karena aku necrophilia di mana libidoku mendadak naik melihat tengkorak bergelimpangan.
Bukan.
Aku anggap Coco bagus karena Coco punya hal-hal yang patut dibilang bagus. Aku udah kayak Miguel, dibuat terkagum-kagum sama Land of The Dead. Penuh warna-warni memanjakan mata. Ada momen di mana aku kayak lagi nonton sinetron laga Indosiar tapi versi bagus bangetnya. Terus pergi menuju ke sananya aja butuh menyeberang jembatan bunga. Seandainya aja jembatan shiratal mustaqim seindah itu huhuhuhu. Dunia mati indah banget, anjir. Jadi nggak takut mati deh.
Tapi nggak pengen mati muda juga sih.
Aku ngerasa super duper gemas sama Miguel. Dia lucu secara alamiah. Suaranya pas lagi ngomong apalagi pas lagi nyanyi itu uuuuuuuuuuuh cubit-able. Hasrat pengen punya adek cowok pun semakin membuncah karena ngeliat kelakuan Miguel itu. Dan yeaaah, nggak bisa dipungkiri aku memang selalu jatuh kagum sama cowok yang passionate di bidang yang dia sukain.
Alur ceritanya juga bikin gemas sih. Ada kejutan yang aku dapat, bikin aku ngalamin momen "WAH NGGAK NYANGKA BANGSAT BANGET ."
Ternyata film animasi juga bisa dibangsat-bangsatin.
Aku ngerasa benar-benar nggak bisa nggak ekspresif (baca: malu-maluin) pas nonton. Aku nggak bisa jadi penonton yang kalem. Pertengahan filmnya, aku udah mulai nangis. Airmata yang awalnya sekedar ngalir, lama kelamaan bikin aku sesenggukan. Aku berusaha nangis secara backstreet dari mas-mas di sebelah dengan cara gigitin bibir, kadang juga nutupin muka. Ngerasa kayak orang yang bersembunyi dari kejaran psikopat.
TAPI TETAP AJA JEBOOOOOOL. MENUJU ENDING, MATAKU RASANYA MAKIN PANAS.
BAHUKU BERGUNCANG UDAH KAYAK MESIN CUCI YANG LAGI DIPAKE.
ISAK TANGISKU RUSUH UDAH KAYAK NANGISIN ORANG MENINGGAL.
AKU UDAH NGGAK PEDULI LAGI SAMA MAS-MAS DI SEBELAH. NGGAK PEDULI HUAAAAA.
Tapi aku ngerasa itu nggak papa sih. Daripada ditahan-tahan nangisnya kayak Reyhan. Dia pas nonton Coco, nahan-nahan tangis soalnya duduk sebelahan sama anak kecil. Dia harus menjaga wibawanya di depan dua anak di bawah umur itu. Mhuahahaha.
Berikut penampakannya,
APAPUN YANG DITAHAN-TAHAN ITU TIDAK ENA, JENDRAAAAAL!
Selain ceritanya yang emang ngebantai pelupuk mata, lagu-lagu yang jadi original soundtrack-nya juga bangke sih. Kalau denger yang judulnya Remember Me, aku masih aja tenangis. Remember Me versi Hector memancarkan aura kebapakan yang kuat. Airmataku mengalir lembut. Sedangkan Remember Me versi Miguel dan Mama Coco, bikin aku nangis terengah-engah. Emosinya Miguel nyampe banget ke pendengar. Terus pas Mama Coco mulai nyanyi....
AAAAAAAAAAAAAAAK INI SIAPA YANG GELETAKIN BAWANG DI SINIIIII HAAAAAH???!!
Lagu-lagu di Coco bukan sekedar lagu. Ajaib, anjir. Emosional. Coco juga bukan sekedar soal passion, impian, atau cita-cita. Di banyak film, kita sering liat kalau impian di atas segalanya. Kita seolah dimotivasi untuk mengejar mimpi apapun halangannya, walaupun impian itu terbentur restu keluarga. Tapi di Coco, keluarga jadi yang nomor satu.
Di sana dia ketemu anggota keluarganya (dalam wujud tengkorak semua) yang selama ini cuma bisa dia temui di foto. Sampai akhirnya dia memutuskan mencari keberadaan Ernesto de la Cruz dengan bantuan Hector (Gael Garcia Bernall), seonggok tengkorak yang berpenampilan layaknya tunawisma.
Btw, tadi pas gugling, ternyata Benjamin Bratt itu pernah main di Miss Congeniality, jadi agen FBI ganteng. Pantasan kayak pernah liat di mana gitu pas gugling fotonya. Aaaaaaak!
Seterusnya, aku ingin berkata...
COCO BAGUS BANGET, BAJINGAAAAAAAAAAAK.
Bukan, bukan karena aku pedofil jadinya aku engas nonton Coco di mana ada penampakan anak umur 12 tahun. Bukan juga karena aku necrophilia di mana libidoku mendadak naik melihat tengkorak bergelimpangan.
Bukan.
Aku anggap Coco bagus karena Coco punya hal-hal yang patut dibilang bagus. Aku udah kayak Miguel, dibuat terkagum-kagum sama Land of The Dead. Penuh warna-warni memanjakan mata. Ada momen di mana aku kayak lagi nonton sinetron laga Indosiar tapi versi bagus bangetnya. Terus pergi menuju ke sananya aja butuh menyeberang jembatan bunga. Seandainya aja jembatan shiratal mustaqim seindah itu huhuhuhu. Dunia mati indah banget, anjir. Jadi nggak takut mati deh.
Tapi nggak pengen mati muda juga sih.
![]() |
Gen Rivera. |
Alur ceritanya juga bikin gemas sih. Ada kejutan yang aku dapat, bikin aku ngalamin momen "WAH NGGAK NYANGKA BANGSAT BANGET ."
Ternyata film animasi juga bisa dibangsat-bangsatin.
Aku ngerasa benar-benar nggak bisa nggak ekspresif (baca: malu-maluin) pas nonton. Aku nggak bisa jadi penonton yang kalem. Pertengahan filmnya, aku udah mulai nangis. Airmata yang awalnya sekedar ngalir, lama kelamaan bikin aku sesenggukan. Aku berusaha nangis secara backstreet dari mas-mas di sebelah dengan cara gigitin bibir, kadang juga nutupin muka. Ngerasa kayak orang yang bersembunyi dari kejaran psikopat.
TAPI TETAP AJA JEBOOOOOOL. MENUJU ENDING, MATAKU RASANYA MAKIN PANAS.
BAHUKU BERGUNCANG UDAH KAYAK MESIN CUCI YANG LAGI DIPAKE.
ISAK TANGISKU RUSUH UDAH KAYAK NANGISIN ORANG MENINGGAL.
AKU UDAH NGGAK PEDULI LAGI SAMA MAS-MAS DI SEBELAH. NGGAK PEDULI HUAAAAA.
Tapi aku ngerasa itu nggak papa sih. Daripada ditahan-tahan nangisnya kayak Reyhan. Dia pas nonton Coco, nahan-nahan tangis soalnya duduk sebelahan sama anak kecil. Dia harus menjaga wibawanya di depan dua anak di bawah umur itu. Mhuahahaha.
Berikut penampakannya,
![]() |
Tampak seperti bapak beranak dua yang berpotensi direbut pelakor |
APAPUN YANG DITAHAN-TAHAN ITU TIDAK ENA, JENDRAAAAAL!
Selain ceritanya yang emang ngebantai pelupuk mata, lagu-lagu yang jadi original soundtrack-nya juga bangke sih. Kalau denger yang judulnya Remember Me, aku masih aja tenangis. Remember Me versi Hector memancarkan aura kebapakan yang kuat. Airmataku mengalir lembut. Sedangkan Remember Me versi Miguel dan Mama Coco, bikin aku nangis terengah-engah. Emosinya Miguel nyampe banget ke pendengar. Terus pas Mama Coco mulai nyanyi....
AAAAAAAAAAAAAAAK INI SIAPA YANG GELETAKIN BAWANG DI SINIIIII HAAAAAH???!!
Lagu-lagu di Coco bukan sekedar lagu. Ajaib, anjir. Emosional. Coco juga bukan sekedar soal passion, impian, atau cita-cita. Di banyak film, kita sering liat kalau impian di atas segalanya. Kita seolah dimotivasi untuk mengejar mimpi apapun halangannya, walaupun impian itu terbentur restu keluarga. Tapi di Coco, keluarga jadi yang nomor satu.
Menurutku Coco ngasih tau betapa pentingnya mengingat keluarga dan diingat keluarga. Walaupun kita dan keluarga udah dipisahkan dengan kematian, keluarga kita wafat, bukan berarti keluarga kita udah nggak butuh kita lagi. Kita masih harus peduliin mereka.
Hari Kematian di Meksiko adalah bentuk kalau keluarga yang meninggal masih 'dianggap' keluarga. Mereka di alam sana masih butuh asupan dari kita yang masih hidup. Begitu juga dengan ritual bakar uang kertas dalam ajaran agama tradisional China, yang tujuannya agar arwah di alam sana nggak ngerasa kekurangan. Ngehadiahin Al-Fatihah ke orang yang meninggal bagi umat Muslim, juga termasuk bentuk peduli terhadap keluarga yang wafat.
Ya ampun, ngetik yang terakhir bikin aku jadi merinding haru.
Sumpah itu bukan pencitraan, btw.
Kelar nonton dan keluar bioskop (setelah membiarkan mas-mas di sebelahku angkat kaki pergi duluan), aku ngerasa puas. Puas ketawa, puas terkagum-kagum, puas nangis. Coco adalah film yang nggak bisa dilupakan begitu aja. Coco bikin aku ngomong sendiri sambil berharap. Ngomong,
"Remember me, Coco. Ingatlah aku sebagai penonton amatiranmu. Aku baru pertama kali nonton film animasi di bioskop, terus dibuat jatuh cinta sama film sebagus kamu. Kayaknya aku harus cari alasan kuat deh kenapa aku bisa nggak suka nonton film animasi.
Tapi kalau misalnya nanti aku nggak nonton film animasi lagi, jangan pernah lupain aku, ya."
Tapi kalau misalnya nanti aku nggak nonton film animasi lagi, jangan pernah lupain aku, ya."