5,00

Gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba Mama nyodorin sebaskom bawang merah beserta pisau dapur di dalamnya begitu aku keluar kamar.

“Kupasin ya, Mama mau bikin bumbu. Mama mau ke pasar. Eh kamu sarapan apa? Mie kah? Yaudah kupasin dulu ya baru sarapan.”

Lantas Mama melenggang pergi ninggalin aku yang masih berusaha mencerna kata-kata beliau barusan.

Jadilah aku ngebabu pagi dengan bawang merah binal yang siap dikupas, bukan dengan tumpukan piring yang harus dicuci, kayak biasanya. Ngupas bawang itu susah-susah gampang, bagi aku yang gak pernah terjun ke dapur kecuali masak mie sama nyeplok telor. Sebagian bawang terlihat bukan kayak habis dikupas kulitnya tapi kayak dicabik-cabik, persis kayak korban pemerkosaan yang bajunya terlucuti huhuhu. Gak rapi, bawangnya ikut terkupas. Pengaruh karena aku belum mandi kali ya, eeh ngaruh gak sih, emangnya bawangnya punya hidung trus nyium aroma liur basi sama bau masam dari aku gitu, aaaa. Mana mata berair lagi padahal make kacamata sama mutar lagu-lagu upbeat tetap aja gak bisa ngalahin sensasi pedas di mata pas ngupas bawang merah.

Berair gara-gara ngupas bawang merah tadi pagi gak ada apa-apanya dibanding berair gara-gara ngeliat sms Dea tadi pagi juga. Tapi sebelum aku cerita isi smsnya apa, aku mau cerita soal ak dan anak-anak kelas tiga baru lulus ke sekolah kemaren dalam rangka ngambil SKHU. Yaaaa sebenarnya gak ada istimewanya sih. Disuruh datang jam sebelas ehhh molor jam satu baru dibagikan. Gak bosan juga sih nunggunya soalnya sambil kumpul kebo sama bubuhannya ngelepas kangen. Kelar berdesak-desakkan di TU demi dapetin SKHU yang ternyata belum dilegalisir trus juga tadi siang aku dapat sms kalau nilai rata-rata rapor di SKHU itu ada yang salah jadi besok kami harus ke sekolah minta print ulang, kami yang dipimpin Ikhsan berbondong-bondong ke kelas huhu mantan kelas kaliya lebih tepatnya. Kami corat coret baju bepilox-an betandatanganan foto-foto nggg telat sih buat kayak gitu tapi gapapa yang penting happy!!!!



Habis itu kami gak langsung pulang. Kami yang terdiri dari aku, Dina, Dea, Owi, Denada, Chintya, Kartini, Jannah, Ikhsan, Eri dan Wahyu ngaso ke KFC sampe jam tiga.

Tadi malam pas ngeliat tulisan bubuhannya di bajuku, aku ketawa-ketawa geli sendiri. Ada yang waras dari segi tulisannya sama kata-katanya, ada juga yang gila. Iseng ku potoin hahaha.




Oke, balik ke awal ya, yang aku mau cerita soal sms Dea. Jadi Dea sms gini:


Aku yang baru bangun tidur waktu dapat sms itu pun cuma bisa diem. Antara trenyuh mellow sama ngumpulin nyawa. Karena gak mau lebih mellow lagi, aku mutusin buat gak usah mandi aja takutnya kalau ketemu air aku jadi tambah mau nangis. (halah bilang aja kalau malas mandi Cha! -_-)

Pas baca sms Dea itu, aku jadi te-flashback sama apa yang udah terjadi kemaren siang. Pas Reny meluk aku trus aku meluk dia sambil ngomong, “Reny guru Matematika terhebat!” dan dia bales, “Icha guru Bahasa Inggris yang membingungkan!”. Lalu kami ketawa bareng-bareng seolah sama-sama nahan tangis. Teingat ketika air mata tumpah deras dari seorang Dea yang jarang banget nangis. Teingat Ani yang bilut waktu pelukan sama Reny. Teingat senyum getir Denada yang gak bisa ikut ngumpul lagi karena udah mau ke Surabaya. Teingat Owi yang ngomong sedihnya heh berulang kali. Teingat ketawa renyah Dina waktu ngerekam bubuhannya becoret-coretan. Teingat muka polos Chintya yang kadang juga bikin kesal itu. Teingat------ terlalu banyak yang harus diingat. Kadang tanpa sadar kalau aku lagi ingat itu semua, ingat waktu lagi sibuk-sibuknya bimbel US UN dan tetek bengek lain yang udah kami lewatin, aku suka ngegumam, “Aku kangen kalian. Aku kangen kita.”

Kita itu dulu. Kata ‘kita’ itu ada ketika aku dan temanku-temanku itu masih dalam satu kelas, satu kenangan, satu tujuan. Dulu setiap hari kami ketemu, belajar bareng, ketawa bareng, ngerjakan tugas bareng, tidur di jam istirahat bimbel bareng, makan bareng, cemas nungguin hasil ulangan bareng, ngolokkin Bu Mur bareng, malingin jemuran orang bareng, eeeh itu gak masuk hitungan. 
Selalu ada kata ‘kita’ di setiap kejadian. Walaupun sempat ada ‘kita’ tanpa Dea karena waktu itu pernah musuhin Dea. Walaupun sempat ada ‘kita’ tanpa Reny dan Ani karena sempat nganggap mereka rada ngejauh. Walaupun sempat ada ‘kita’ tanpa Owi sebelum akrab sama kami. Walaupun sempat ada ‘kita’ tanpa aku atau Dina karena kami berdua marahan terus cuma gara-gara aku ngambek.
Dulu kata ‘kita’ menghiasi satu tujuan. Bergantung pada satu harapan. Waktu ulangan Bahasa Inggris, kita sama-sama berharap bisa lolos dari remedi Bu Dina yang menyiksa batin itu. Sama-sama bertujuan untuk dapat nilai bagus. Di Ujian Kompetensi, kita ngerasain ketakutan yang sama, deg-deg-an yang sama walaupun tiap orang kadarnya berbeda-beda, dan lagi-lagi harapan serta tujuan yang sama: LULUS UJI KOMPETENSI. Memasuki Ujian Sekolah dan Ujian Nasional, kita memanjatkan doa bersama, dan isinya pun sama, mohon bisa LULUS.

Sekarang kata ‘kita’ terpisah menjadi ‘aku’ dan ‘kalian’ karena kata ‘lulus’ itu. Tujuan kita sekarang berbeda-beda. Seperti isi sms Dea, “semoga apa yang qta msing2 cita2kan dapat terwujud.”. aku jadi sadar kalau hidup kita sekarang masing-masing, tujuan kita masing-masing, bukan bersama lagi. Kalaupun kuliah itupun ada yang beda universitas, beda fakultas. Kerja pun juga, ada yang sini, ada yang situ, disana. Nikah pun pasti beda pasangannya, eee gak ada yang mau nikah habis lulusan ini kok.  Pokoknya kita sekarang beda. Sedih sih, tapi memang harus kayak gini kan?

Mungkin yang satu-satunya sama setelah lulusan ini adalah nilai UN Matematikaku sama nilai UN Matematika-nya Dina. Sama-sama 5,00. Kami sama-sama menertawakan nilai yang sama-sama jongkok itu. Sama-sama ngingat pelajaran dan guru Matematika kayak apa. Sama-sama nyadar kalau kami memang gak bisa bersahabat sama Matematika. Sama-sama sedih hal itu bakal kami kangenin.

Eh mau mandi dulu ni, udahan ya. Dadaahhhhhh pembaca, dadahhhh kita. Eeehh engga engga, karena kita itu tetap kita. Walaupun udah gak sekelas satu sekolah satu tujuan trus jarang ketemu, kita ya tetap kita.

You Might Also Like

0 komentar