Kambing Hitam Di Kamar Mandi

Kamar mandi jadi tempat favoritku untuk mencurahkan apa aja yang lagi pengen kucurahkan. Nyurahin sampah perut, gampang... Tinggal tutup pintu, buka ini itu, dan brrrrooottt plonggg ahhh!! (please jangan mual).
Nyurahin suara jelek juga sama gampangnya. Aku kebiasaan suka karaokean kalau di kamar mandi. Kadang sambil telfon-telfonan juga. Asyik aja sih. Di kamar mandi suaranya kan menggema gitu. Jadi kalau aku lagi nyanyi gitu, serasa di studio musik. Kedap suara. Dari luar kedengaran bagus, dari dalam jeleknya kedengaran (itu mah bukan kedap suara). Persetan dengan omelan Mama yang saban hari koar-koar kalau aku sudah memulai aksi Mariah Carey ku.

Ajaib,hari ini bukan nyanyian dan limbah perut yang aku curahkan di kamar mandi. Habis melucuti semua atributku, aku langsung ke kamar mandi. Tutup pintu, ngadap ke kaca, lalu ngomong sendiri diiringi dengan sesenggukan. 

Kira-kira begini yang aku omongin ke kaca kamar mandi...
(aku tau ini gila, asli gila ngajakin kaca ngomong, tapi ga ada salahnya kan kalau ku tulis)

"Kaca, aku bingung. Nina mutusin buat keluar dari teater. Mamanya udah muak sama teater sejak latihan gladi bersih di hotel Senyiur buat pementasan perpisahan kelas 3 kemaren. Di rumah, udah ga ada yang bisa dia jadikan tempat ngadu. Semuanya pada kontra. Aku tau, peraturan di keluarga Nina cenderung ketat. Teater mengharuskan kami latihan, latihan, dan latihan. Mamanya Nina gak suka Nina keluyuran. Bisa dibilang kolot sih, over protective juga. Padahal gak bermaksud keluyuran kan, ada perlunya kan. Nina gampang sakit sekarang, dan mamanya selalu mengkambing hitamkan teater sebagai penyebab sakit anaknya. Dia sempat bersikeras tetap mau ikut teater, tapi ujung-ujungnya malah nangis-nangisan. Sampe-sampe mamanya gak mau anggap dia sebagai anaknya lagi. Bukan anak ibu lagi kalau kamu ga mau nurut sama Ibu, Nin.. Gitu kah katanya. Tau nggak Kaca, apa yang aku lakuin pas aku dengar cerita Nina? Nangis, kaca..nangis. Aku narik-narik roknya. Dia duduk di kursi, aku duduk lesehan. Aku nangis di kakinya. Aku kesal,  marah, sedih, frustasi. Kaca, aku ga mau sendirian... Ini mimpi kan, Kaca? Aku pengen cepat-cepat bangun, Kaca.."

Aku menghela nafas panjang. Menatap kaca, menanti respon dari curhatanku.
Aku menggoyang-goyangkan kaca kamar mandi. Si kaca malah diam gak bergeming, kugoyang lagi, tetap gak ngerespon curhatanku.Sekali lagi ku goyang, kaca bakal gak berbentuk lagi.
Yaiyalah kalem aja daritadi tuh kaca, namanya juga benda mati. Gimana sih Icha.

"Kaca, apa aku harus keluar aja? Jujur, aku capek. Latihan dimarah-marahin Kak Ian. Gak nyangka Kak Ian pemarahan, keras kepala, kolot. Pulang sore. Ngurus 15 adek kelas sendirian. Ngatur jadwal latihan. Pertemuan ini itu tentang teater. Nina selalu ga bisa, dan akhirnya aku menjalaninya sendiri. Seharusnya kalau Nina keluar, aku ga perlu sedih kan? Toh, aku sudah biasa sendirian kan? Tapi.. kalau aku misalnya aku jadi ketua teater, mau jadi apa teater? Aku orangnya selebor gini, ga tegas,cengengesan, lemah mental, sensitif, labil. Haah kurang apalagi hak kekurangannya. Aku ga bisa menanggung teater ini seorang diri. Pengen juga keluar, tapi nanti gimana nasib adek-adek kelasnya? Mereka semangat banget, apalagi si Christina Everton itu, adik kelasku yang berjilbab hitam manis. Aku kadang minder sama semangatnya. Trus gimana dengan kakak-kakak alumni? Terutama Kak Anita? Mereka, dia, pasti murka sama aku dan Nina. Nanti aku dibilang ikut-ikutan. Aku sempat curhat sama mami ndese tentang masalah teater ini. Kata Mami, berhenti aja kalau kayak gitu caranya. Capek raga capek hati. Mau sih keluar, tapi....."

Mataku mulai basah, bersamaan dengan sekujur tubuhku yang basah kuyup tertimpa air hangat shower.

"Kaca, sekarang aku jadi korban.. Ehm sebelumnya aku mau nanya, boleh kan aku jadi korban? Ini masalah, ini kasus, Kaca!! Terus, siapa yang jadi tersangka? Siapa yang mau bertanggung jawab? Nina? Kak Ian? Bubuhan Ujp? 
Seandainya aku ikut bubuhan Ujp keluar, aku gak mungkin kayak gini. Keadaan yang salah, Kaca. Keadaan yang jadi kambing hitam.. Aku benci keadaan ini!!!! Teater jadi hancur gara-gara keadaan!!"

Sabun cair mulai membalut tubuhku. Aku mengibas-ngibaskan busanya, kesal. Sekalian akting jadi Luna Maya di iklan Lux sih. Siapa tau ada prosedur yang ngeliat, terus berminat.

"Aku harus gimana. Kaca? Tetap bertahan, atau keluar? Senin dan Kamis jadi hari mencekam. Aku pegen lepas, tapi dengan membawa adek-adek tencintrong itu.. Aku terlanjur sayang sama mereka. Aku dan mereka, kami, gak mau teater melati sekarat kayak gini."

Curhatanku terpotong oleh teriakan Mami Ndese. Baru nyadar kalau acara mandiku memakan hampir satu jam. Maklum, kamar mandinya gantian.  Pas aku berkemas kecipak kecipuk ngebersihin badan, trus keluar kamar mandi, terlihat Kak Dayah dan Nanda jongkok jamaah di depan pintu kamar mandi dengan handuk masing masing. Muka masam dan gerutuan mereka kubalas dengan senyum, lalu menatap kembali ke kaca kamar mandi.

"Terimakasih Kaca, sudah mendengarkan kambing hitamku. Semoga si kambing beneran lenyap bersamaan dengan sabun cair yang yang tersiram air tadi"

You Might Also Like

0 komentar