Terlalu Berusaha Terlihat Bahagia, Apakah Tidak Mematikan Marnie?

Rencananya mau nyelesain draf review baper IT dan draf proyekan WIRDY, tapi...... rasa kagum akan film When Marnie Was There menggangguku. Huhuhuhu. Layaknya cewek yang kasmaran, aku butuh media buat menyampaikan kebaperanku akan film ini sesegera mungkin. Aku pengen orang-orang tau kalau aku baper sama film ini. Ya, aku dibikin baper sama film anime. Genre film yang jarang banget aku jamah. 

Seumur-umur aku baru pernah nonton tiga film anime. Yaitu 5 Centimeters per Seconds. A Silent Voice, dan When Marnie Was There. Yang 5 Centimeters per Second bikin mewek gila, sampai bikin aku berandai-andai bisa bikin tandingannya, yaitu 5 Kilometers per Second. Isinya tentang dua sejoli yang LDR. Dua sejoli yang berharap di durasi setiap telponan mereka, bisa mendekatkan jarak mereka sebanyak lima kilometer per detiknya. Konyol abis. Terus aku kepincut buat nonton A Silent Voice, film anime yang bikin nangis sesenggukan ngeliat dampak buruk bullying itu ternyata nggak cuma menimpa korban, tapi menimpa tersangka juga. Terakhir nonton When Marnie Was There, film anime yang bikin aku ngerasa....

“WHEN MARNIE WAS THERE BRENGSEK! BIKIN MEWEK! AKU HARUS TULIS SOAL FILM INI DI BLOGKU YANG JELEK!”

The Virgin.

Ya. Brengsek sih. Selain bikin aku mewek, film ini juga bikin aku sempat punya perasaan jelek. Sebelum nonton filmnya, dengan beraninya aku ngerekomendasiin film ini ke Justin. Setauku Justin adalah penggemar film anime khususnya yang dari Studio Ghibli. Tapi..... pas di tengah-tengah nonton filmnya, aku rada nyesel sih udah ngerekomendasiin. Adegan demi adegannya bikin aku mikir kalau filmnya mengandung unsur LGBT. Aku jadi ngerasa aneh aja, ngerekomendasiin film anime LGBT sama cewek. Anehnya sama kayak pas nonton adegan 69 yang dilakuin dua cewek montok di Blue Is The Warmest Color sama Nanda. 

Tapi begitu selesai mengonsumsi filmnya, aku jadi nyesel kenapa sempat nyesel udah ngerekomendasiin. 

Oke. Ceritain duls soal filmnya yak dengan awalan ala Wikipedia. Jadi When Marnie Was There adalah film animasi Jepang keluaran tahun 2014 yang diproduksi Studio Ghibli dan diadaptasi dari novel karangan Joan G. Robby Haryanto. Eh. Robinson. Sutradaranya adalah Hiromasa Yonebayashi. Film ini punya dua tokoh sentral, yaitu Anna Sasaki (Sara Takatsuki) dan Marnie (Kasumi Arimura) yang sama-sama berumur 12 tahun. 

Anna adalah remaja kelewat introvert asal Sapporo yang mengidap penyakit asma. Suatu ketika, penyakit Anna kambuh dan dokter menyarankan Anna untuk dimutasi sementara ke daerah yang udaranya lebih segar demi nasib paru-parunya. Yoriko (Nanako Matsushima), orangtua angkat Anna, memilih menempatkan Anna di pedesaan ujung timur Hokkaido, tepatnya di rumah keluarga Oiwa, rumah saudaranya. 

Gadis bermata biru itu disambut hangat oleh keluarga Oiwa dengan hikayat tentang anak putri mereka yang sekarang bekerja di luar kota. Anna menghabiskan hari-harinya di pedesaan dengan menggambar. Sampai akhirnya dia kepincut dengan rumah besar bergaya Eropa di seberang rawa-rawa. Rasa penasaran Anna akan rumah itu besar, kurang lebih kayak rasa penasaran para remaja akan segala hal yang berbau pornografi. 

Kenekatannya menyusuri rawa-rawa mempertemukannya dengan Marnie, gadis cantik berambut pirang dan sepantaran dengannya. Tanpa perlu mengenalkan diri dengan kalimat, “Nama saya Marnie. Walaupun saya orang Jepang, keluarga saya itu memegang erat budaya Eropa,” seperti Dodit saat di kompetisi SUCI 4, Anna sudah tau kalau Marnie berbeda dengan anak-anak desa yang lain. Marnie tinggal di rumah besar itu. Keluarga Marnie sering mengadakan pesta. Marnie terlihat bahagia tapi sebenarnya dia adalah anak yang kesepian. Sama seperti Anna. 

Model iklan Sunsilk.

Anna yang depresif dan benci sama kehidupannya sendiri itu, jadi ngerasa Marnie adalah kebahagiaan hidupnya. Setiap air pasang, Anna mengarungi rawa-rawa untuk ngapelin Marnie. Marnie dan Anna pun menjalin persahabatan yang.... lebih tepatnya bisa dibilang sebagai hubungan percintaan. 

Nah ini, yang bikin aku sempat punya pikiran nggak nyaman sama When Marnie Was There. Bukannya aku anti sama film-film tentang hubungan sesama jenis. Tapi rasanya agak aneh ngeliat Anna dan Marnie yang kayak sepasang kekasih, bukannya dua sahabat. Dari mereka pegangan tangan, pelukan, sampai berdansa itu bikin mikir kalau ini film anime tentang LGBT. Apalagi pas adegan Anna tersipu malu plus kagum pas ngeliat Marnie untuk pertama kali. Didukung pula sama gaya berpakaian dan rambut Anna yang tomboy, ngingatin aku sama tokoh Kim di film Thailand berjudul Yes or No. Semua itu bikin aku mikir kalau Anna ‘gelisah’ sama hidupnya sendiri itu ya karena dia lesbian.

Marnie-Anna

Pie-Kim.

TAPI TERNYATA AKU TERTIPU. Adegan demi adegan menuju ending-nya membantah semua dugaanku akan Anna dan Marnie. Ending-nya lah yang bikin aku baper parah sama film ini sampai-sampai aku nggak puas kalau kesanku soal film ini dituangin di Twitter doang. Aku jadi 'memaklumi' keintiman mereka berdua. Malah jadinya itu indah bangeeeeeeeet. Sukaaaaaaaaaaa.

Aku ngerasa dekat sama dua karakter di film ini. Aku yang awalnya nggak suka sama Anna karena dia kelewat tertutup, dia yang benci orangtua angkatnya, dia yang hobi bikin ulah (walaupun nggak sengaja) sehingga ngerepotin pasutri Oiwa, lama-kelamaan jadi ngerasa kasihan sama Anna. Aku pengen banget dengerin curhatannya Anna secara langsung. Aku pengen sahabatan sama Anna.

Marnie juga nggak luput dari perhatianku. Dari awal aku udah kagum berat sama kecantikan yang ada padanya. Tutur katanya dan caranya melihat dunia. Ditambah pas ending-nya... YA ALLAH TANGGUL AIRMATAKU JEBOOOOOL. HUHUHUHUHUHUHUHUHUHU. 

Sekilas kayak cewek sama cowok iya nggak sih?

Oh iya, selain tentang orientasi seksualnya Anna, film ini juga bikin aku punya pemikiran lumayan buruk tentang kejiwaannya Anna. Itu karena misteri siapa sebenarnya Marnie. Kemunculan Marnie suka mendadak. Terus pas pertama kali ketemu Marnie, Anna langsung bilang kalau Marnie adalah perempuan yang sering ada di mimpinya. Hal itu ngingatin aku sama Ruby Sparks, di mana Calvin dapat anugerah kalau tokoh fiksinya jadi nyata. Aku jadi mikir kalau saking kesepiannya, Anna sampai nggak sengaja nyiptain teman khayalan berwujud Marnie. 

TAPI TERNYATA AKU SALAAAAAAH. Aku ngerasa sotoy. Marnie lebih dari sekedar teman khayalan. Bagusnya lagi, Marnie membawa pengaruh baik buat Anna dalam mensyukuri hidupnya dan menerima cinta dari orang-orang di sekelilingnya.

Aku jadi percaya mulut-mulut yang bilang kalau film-film Ghibli itu memang indah dan menyentuh hati. Bahkan ini kayaknya aku pengen nonton film-film Ghibli yang lain. Oh iya, katanya film ini adalah film terakhir yang diproduksi Ghibli sebelum memulai vakum sementara untuk waktu yang nggak ditentukan. Huhuhuhuhu. Jadi tambah mewek. 

MEMANG BENERAN BRENGSEK DAH INI FILM. AKU YANG NGGAK SUKA FILM ANIME KENAPA INI BAPER PARAH SIH HUHUHUHU. 

Tapi gimana ya, film ini menurutku sederhana, ada unsur fantasi bahkan mistisnya, tapi setting-nya di dunia nyata sehingga jadinya nggak terlalu absurd dan nggak terlihat ‘ngayal’ banget. Terus twist-nya itu lho, kurang ajar sekali. Pengen pukul-pukul manja itu yang buat ceritanya rasanya. 

Kesimpulannya, When Marnie Was There adalah film anime yang bikin aku baper tanpa harus ngerasa punya kisah yang sama kayak di filmnya. Aku ngerasa dekat dengan Anna maupun Marnie kayak udah pernah ketemu mereka. Aku ngerasa di satu sisi, tindakan Anna itu benar. Anna yang nunjukin apa adanya kalau dia memang nggak bahagia, sampai akhirnya dia ketemu seseorang yang menyadarkan dirinya kalau dia memang udah bahagia. Daripada berlagak bahagia di luar padahal ngerasa menderita di dalam, nggak ada yang tau kalau sebenarnya nggak sebahagia itu. Kalau Anna terlalu berusaha untuk terlihat bahagia, Anna bisa ‘mematikan’ Marnie. Marnie bisa aja nggak bakal pernah datang di hidupnya Anna. 

Tapi di satu sisi lain, aku ngerasa tindakan Anna itu salah. Gampang menilai jelek diri sendiri, menolak otomatis perhatian dan kasih sayang orang-orang ke dia, dan rajin menanam kebencian. Membenci orangtua, keadaan sekarang, masa lalu, bahkan diri sendiri itu memang nggak ada benarnya sih.

Kalau seandainya Anna nggak ketemu Marnie, mungkin aku bakal nanya ini ke Anna. Atau ke siapapun. Bahkan bisa tanya ke diriku sendiri saat melankolisku lagi kumat. Nanya,

“Terlalu sibuk membenci diri sendiri, apakah tidak mematikan nurani?”

You Might Also Like

17 komentar

  1. Setelah membaca review ini, saya jadi tertarik untuk nonton film Blue Is The Warmest Color... mau liat scene 123 kurang 54.

    BalasHapus
    Balasan
    1. BANGKAY BELITUNG. Dasar Haw mesuuuuuuum! Malah tertarik nonton film yang ada adegan 123 kurang 54 anjeeeeeeeeeer. Kalau dah nonton, tolong kasih tau tanggapannya ya, Haw :D

      Hapus
  2. Aku uda nonton dong cha dah lama #ghibli's fans garis keras
    Cuma klo dari sudut pandangku, marnie ini lebih ke maen ke cerita psikologis
    Aku awalnya bingung dah pas ana sama marnie kek beduaan mulu #uda mikir suujon ajs, masa cinta sesama jenis wkkkk, ternyata marnie neneknya ana hahaaaaa hadeh
    Aku suka gambarnya sih
    Slalu suka ilustrasinya soalnya warna warni gitu
    Tapi aku sebenernya masi bingung di bibinya ana, itu ana ada perasaan kyk ga nysman apa gimn sih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaaah aku bener-bener ketinggalan film Ghibli bet ya, Mbak Nit. Huhuhuhu.

      Oke. Spoiler mhihihihihih. Iya aku juga suka gambarnya, Mbak Nit. Adem dilihat. Mbak Nita ngegambar begitu kecil lah yaaaa~ Hmm itu Bibi yang di desa bukan? Dia kayak masih nggak nyaman kali, nggak enak gitu soalnya Bibinya terlalu baik. Mungkin gitu kali yak.

      Hapus
  3. Oiya aku yg film yes or no, juga mewek tuh hahaaaa arrrrrrghhh coba klo si tomboynya itu bukan wanita pastilah aku ga gimn gitu nontonnya coba hahaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. HUAAAA IYA HUHUHU FILMNYA SEDIH YAAAA, MBAAAAK. HUHUHUHUHUHHUHU. Si Kimnya yang cewek itu aja aku baper. Apalagi cowok huaaaaaaaaaaa.

      Hapus
  4. Belum pernah nonton film Ghibli. Tapi film animasi entah kenapa emang sering bikin mata basah, sih, daripada film asli. One Piece dan Naruto tuh suka mengaduk-aduk perasaan. Terus juga film Pixar; Toy Story 3, Big Hero 6, Inside Out, dan seterusnya.

    Kalau nurani sudah mati, apakah masih bisa menikmati hidup? :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju yog, one piece walo kdg kekansk kanakan tp pesan yg disampaikan emosional bgt, kadsng sku ampe terbawa haha

      Hapus
    2. ((BIKIN MATA BASAH))

      Nah yang Inside Out doang yang pernah aku tonton. Huahaha. Oh iya, Wall-E juga bikin aku nangis. Itu film animasi pertama kayaknya yang pernah aku tonton. Cetek abis dah kalau soal film animasi.

      Hmmmmm.... mari kita tanyakan pada goyangan yang berumput.

      Hapus
  5. Wah, ka ica bakal kena virus nonton anime kah? :D

    Kalo film yang ini belom nonton sih, tapi kalo dibilang hampir rata-rata film ghibli memiliki cerita yang indah dan menyentuh hati, setuju aja sih walaupun belom ada yang sampe bikin mewek hehe.

    Wah bener tuh, benci sama diri sendiri bisa mematikan hati nurani, pemikiran kita jadi sempit, gak bisa berpikir bahwa hidup itu ternyata gak cuma ada masalah, tapi juga kebahagiaan.

    Stres juga bisa bikin penyakit fisik bahkan kematian #apaansi #apaseh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya nih, Sep. Huhuhuhuhu. TOLONG SEMBUHKAN AKU!

      Ohahahaha. Kamu kuat ya~ Udah nonton film Ghibli yang mana aja, Sep?

      Nah iya bener. Bijak nih kamu. Setuju sih. Kalau kejiwaannya sakit, bisa menjalar ke fisik juga ya kan~

      Hapus
  6. May, gamau bisikin aku? apa adegan yg dimaksud itu adegan a23 kurang 54?

    BalasHapus
  7. ahelah. 123 kurang 54. kok jadi a23 sih. xD

    BalasHapus
  8. Huahahaha. Iya nih, May. Rambutnya Ana mirip sama rambutnya Kim sih xD

    AGAK YURI ITU MAKSUDNYA APA YA, BU GURU? Ooooh iya-iya, yang nganu-nganu gitu kan. Hmmm. Sini bisikin mesra aku ya, May. Ku pengen tau~

    BalasHapus