Yang Lemah Yang Memaafkan

I have a bad news. Kak Dayah udah bener-bener mutusin buat pindah rumah, dan Kamis kemaren positif Kak Dayah, Kak Kris, dan Khansa tinggal di Wiraguna, gak di Cendana lagi. Memang seharusnya kayak gitu sih, kalau udah berkeluarga ya tinggal sendiri gak tinggal sama keluarga inti karena udah punya keluarga baru. Tapi gimana ya, rasanya kecepatan banget Kakak pindah. Rumah jadi sepi pasca kepergian mereka bertiga. Aku yakin bukan cuma aku yang ngerasain rasa sedih ini. Nanda hari Jum'at mimpiin Khansa, dan Mama saban saat nelponin Kak Dayah mulu. 

Well, itu adalah salah satu kejadian di semingguan pasca libur panjang lebaran. Banyak yang berubah selain tempat tinggal Kak Dayah di semingguan ini. Hape Denada yang berubah yang dari Samsung berubah jadi Blackberry Storm, Any yang merubah status lajangnya menjadi in relationship with Wilda Harris Ayyubi sang vokalis band metal lokal, pelajaran sekolah yang berubah menjadi lebih menyeramkan, Reny yang sekarang rajin pupuran padahal dulu enggak, dan...diriku sendiri. Ya, aku ngerasa semingguan ini aku berubah. Berubah menjadi bukan Icha yang lebih baik, tapi menjadi Icha yang lebih buruk.

Aku kepikiran soal ini gara-gara kemaren. Lalu kemarennya lagi dan kemarennnya lagi dan sebelum-sebelumnya. Aku berjalan mundur mengingat apa aja yang aku lakuin selama semingguan ini. 

Aku menggampangkan tugas yang dikasih sama guru, hasilnya malah aku jungkir balik jumplaitan. Tugas Pak Fallah yang dikasih sebelum liburan baru kukerjakan malam sebelumnya. Besoknya tugasku malah ditolak mentah-mentah sama Bapaknya, karena samaan sama punya bubuhannya. Kebetulan aku ngerjakan bareng Nurul, Ikhsan, Wahyu, Denada dan Raysa. Satu tugas diprint sama enam orang, sama banget gak ada bedanya. Itu aku yang ngerjakan, sendirian. Seandainya kalau aku ngerjakan di rumah, gak di rumah Nurul, mungkin tugasku bakal diterima. Untungnya Denada ngerti dan bilang kalau mereka bakal ganti punya mereka. Sebenarnya aku gak mempermasalahkan soal itu,tapi yang jadi masalahku adalah sifat menunda-nundaku yang mendadak datang. Sifat yang udah kubuang jauh-jauh dijorokin ke selokan dan enggan datangin aku  selama di kelas dua akhirnya datang lagi. Aku nyesal kenapa aku nunda-nunda ngerjakan tugas itu. Gak cuma tugas itu, aku juga kewalahan karena peer Agama Islam yang segunung, yang (lagi-lagi) harusnya dikerjakan pas liburan karena dikasihnya pas sebelum liburan. Ditambah dengan hapalan yang sama sekali aku gak hapal. Otomatis aku gak bisa maju hapalan di hari itu. Dan aku menyesal. Lagi. 

Aku berubah jadi anak yang suka nunda-nunda. Ngundang bumerang untuk datang. Lebih parahnya, aku berubah jadi anak yang sentimen. Super sentimental. Marah-marah, suka natap sinis sama orang yang gak ku suka, lebih gampang nunjukkin rasa gak suka sama orang yang gak disuka, nyolot, mengutamakan emosi sesaat. Itu aku, itu aku selama semingguan ini. Contohnya, sekarang aku jadi malas dekatan sama Dea, kemaren aja aku mendadak pindah tempat duduk pas Dea ngajakin aku ngobrol. Aku jadi malas ngomong sama dia. Aku sering gak ngeranin dia. Semata-mata aku lakuin buat ngungkapin kalau aku gak suka sama dia. Dengan sifat egois stadium empatnya. Dengan sifat sirik nya ke orang lain, bahkan ke aku, sahabatnya sendiri. Dengan tatapan sinisnya ke aku ketika aku maju presentasi bahasa inggris. Dengan lengosan mukanya waktu aku lagi bersemangat cerita sesuatu. Dengan histerianya yang berlebihan waktu belajar Matematika. Dengan kata-katanya yang seolah menjatuhkanku, membuatku jadi terlihat bodoh di mata orang lain. Dengan sindirannya yang pedas kalau aku, atau orang lain lagi slek sama dia. Dengan sifat koleris kuatnya yang sangat amat gak matching sama sifat melankolis sempurnaku. Banyak pihak yang ngerasa sakit hati karena sifatnya. Bukan cuma aku aja. Dea mengganggap kami adalah saingannya di kelas, bukan sahabatnya. Rasanya kecewa banget, tertekan. Aku tau kalau gak ada manusia yang sempurna, tapi ini? Aku benci dia karena sifatnya dan tingkahnya yang sudah cukup mengganggu, menyakitkan. 

Sumpah, aku ngerasa bersalah buat nulis itu di sini. Seolah-olah aku ngejelek-jelekin dia. Tapi aku pun udah gak bisa buat nyembunyiin apa yang aku rasain. Yang aku rasain adalah rasa terganggu, rasa tersakiti, rasa pengen pergi, rasa pengen marah, rasa pengen menghindar. Aku udah nyoba menghindar pelan-pelan, ngejauhin dia, namun tetap jadi temannya, bukan jadi sahabat lagi. Tapi nyatanya dia semakin dekat, semakin baik yang justru terlihat menyebalkan di mata. Mencoba buat berbaik-baik sama aku. Cari muka. Dan akhirnya, aku terang-terangan nunjukin gak sukaku sama dia. Aku capek pake topeng.

Keputusan buat buka topeng ternyata bukan keputusan yang bagus. Aku gak tenang, aku kepikiran terus, aku ngerasa bersalah. Aku teringat dengan salah satu ceramah Mamah Dedeh, kira-kira kayak gini: kalau ada yang ngejahatin kita, dan kita ngebalas kejahatan itu, kita sama bodohnya dengan orang itu. bersabarlah, itu senjata orang-orang mukmin."

Oke, jadi harus bersabar kan ngadapin Dea? Sabar seperti Dina, Reni, dan Chintya lakukan. Apalagi Dina, huuffhh aku jadi malu sama Dina, yang selalu ngumbar senyum sabar setiap Dea udah mulai ngeluh soal apapun. Selalu mikir positif kalau Dea udah mulai nyindir-nyindir soal bahasa inggris. Aku ini anak kecil banget, aku gak sedewasa Dina. Aku juga gak habis pikir kenapa aku bisa berani nunjukkin rasa gak sukaku. Biasanya kalau aku gak suka sama seseorang, sebisa mungkin aku tetap baik, tapi gak bermaksud munafik, cuman mau menghindari konflik. Aku gak cukup berani buat membalaskan dendamku, membalaskan apa yang sudah orang itu lakukan ke aku. Aku bukan tipe orang seperti itu. Aku bukan orang yang betah menyimpan dendam lama-lama atau orang yang menghabiskan waktunya untuk menyusun siasat pembalasan dendam. Waktu aku dibully pas kelas dua smp, sama bubuhan Sabrina, aku diam aja. Ada rasa  sakit di hati ketika mereka manggil aku jenglot, ngolokkin aku suka Adit, dimusuhin sekelasan, mau ngelabrak Nanda. Keinginan buat balas dendam itu ada, selalu ada, tapi juga selalu urung. Karena aku takut. Aku lemah. Dan karena lemah itu aku memilih buat memafkan mereka.

Nah, sekarang aku tau kenapa aku jadi gampang ngungkapin rasa gak sukaku sama Dea. Bukan karena aku capek pake topeng, bukan. Aku gampang nunjukkin rasa gak sukaku karena aku pengen terlihat kuat. Aku pengen berontak. Aku pengen nunjukkin aku juga bisa berbuat sepuluh kali lebih sakit dari yang udah Dea lakukan ke aku. Ke teman-temanku. Intinya, aku pengen aku bukan Icha yang dulu, Icha yang tertekan gara-gara perlakuan teman. Icha yang bisa melawan.

Tapi... itu bukan Icha. Itu bukan aku!!!! Kalau itu aku, aku pasti gak bakal kepikiran dan ngerasa bersalah kayak gini. Aku pasti bakal puas dan balas dendam lagi, lagi, lagi. Nyatanya, aku nyesal. Aku gamau nunjukkin rasa gak sukaku lagi. Aku cuma mau bersabar, dan menghindar. Seperti aku ketika dibully Sabrina dkk. Sepertinya aku yang seharusnya. Besok, aku bakal buang jauh-jauh 'si Icha sentimentil' yang udah nempel di aku semingguan ini. 

Oke, sebagai penutup postingan kali ini, aku mau ngutip dari kata ramalan cinta Ran di komik Detektif Conan vol. 68, "untuk merebut hati lelaki yang cerdas, kau hanya perlu, menjadi dirimu sendiri. Hati-hati karena lelaki ini akan segera tahu kalau kau hanya berpura-pura menjadi gadis yang manis. Dia akan segera mengetahui keluguanmu. Percaya pada diri sendiri dan terus berusaha. Perasaanmu akan tersampaikan."

Gak nyambung ya? Gini deh, aku ganti jadi: "untuk mengungkapkan rasa kecewa dan rasa sakit hati pada temanmu, kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri. Hati-hati ketika kau sebenarnya lemah tetapi kau pura-pura kuat dengan bersikeras membalas apa yg sudah dia perbuat. Justru itu akan semakin memperburuk keadaan. Percaya bahwa memaafkan adalah cara yang terbaik untuk mengobati sakit hati. Perasaan kecewamu akan tersampaikan padanya dan seiring waktu dia akan menyadari kesalahannya."

Happy sunday~


You Might Also Like

1 komentar