I Killed Myself, Mother

"Begini kisahnya.....

Aku, yang berawal dari cairan lengket berbau amis, sebut saja peju. Setelah 9 bulan dilahirkan ke dunia ini melalui rahim ibu. Kemudian peju yang jadi daging itu, beranjak dewasa hingga sekarang. Dalam perjalanan hidupnya, selalu saja diwarnai pertengkaran dan perdebatan dengan sang ibu. Kadang si ibu yang suka mencari-cari kesalahan si peju daging tadi. Tak kadang pula, justru si peju daging yang mencari masalah."

Bukan, itu bukan sinopsis film yang aku mau review baperin kali ini. Film yang berjudul I Killed My Mother brojolan tahun 2009 asal Kanada.


Melainkan adalah potongan chat dari Radhian Nur Rahman, atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Mamad Karburator. Beberapa waktu lalu aku bikin WA status tentang quote film I Killed My Mother

"Ibu dan putranya takkan bisa menjadi teman."

Mamad pun nyamber WA status-ku dan menceritakan sekelumit dramanya menjadi anak laki-laki dari seorang ibu. Drama keluarga yang bikin aku mikir. Kalau orang baca itu, terus sedia tisu paseo berharap ada drama sedih, langsung ganti tisu paseo tadi jadi tisu magic.

KARENA CERITANYA BAWA-BAWA PEJU GITU ANJIR.....

Tapi drama keluarga dari Mamad itu sebenarnya kurang lebih sama sih kayak sinopsis I Killed My Mother

Film yang bikin aku susah move on ke film lainnya, bahkan ke  film The Killing of a Sacred Deer, film yang udah aku pengen banget tonton dari kapan tau. Sehabis nonton ini, ada dorongan dari dalam diri sendiri buat nulis tentang ini film bajingseng dulu.

I Killed My Mother disutradarai dan dibintangi oleh Xavier Dolan. Jangan samakan dengan Pandji Pragiwaksono yang menyutradarai dan berperan di film mendatangnya, yaitu Partipelir.

Eh, Partikelir.

Karena beda banget, anjir.

Xavier Dolan masih muda terus ganteng. Pandji sebaliknya.

Anjir, bawa-bawa fisik.

Tapi memang sih, Mas Dolan (pas banget kan dipanggil Mas? Nge-Jawa banget gitu) masih muda. Umurnya sekarang 28 tahun. Dia memulai debutnya sebagai sutradara di umur 20 tahun, yang naskahnya dikerjakan saat berumur 16 tahun. Film debutnya adalah I Killed My Mother, dan baru nyemplung ke dunia perfilman, udah bisa nembus Festival Cannes aja.

Mas Dolan di kursi panas sutradara.
Huaaaaaaaaaaaaaaaa. Gilaaaaaaaaaaaaaak. Umur segitu aku ngapain aja dah? Kayaknya hari-hariku cuma diisi dengan kepikiran sama film The Girl Next Door aja deh. Huhuhuhu.

Aku sendiri baru kenal sama Mas Dolan bukan dari film pertamanya, tapi dari film entah keberapanya, berjudul Mommy. Dari situ aku udah jatuh cinta. Bahkan karena baru nonton satu butir filmnya, dengan lancangnya aku udah menjadikan Mas Dolan sebagai sutradara favorit.





Tuh, kan. Ganteng~

Apalagi di I Killed My Mother. Aku bisa menikmati kegantengannya 572341941370403 kali lipat. Karena dia jadi pemeran utamanya. Yuhuuuuu~

Mas Dolan sebagai anak umur 16 tahun bernama Hubert yang tinggal berdua dengan Ibunya bernama Chantale (Anne Dorval). Hari-hari mereka diisi dengan perdebatan Ibu-anak, udah terlihat sejak awal film dimulai. Berkelahi di mobil karena beda pendapat, makan malam yang nggak mau disertai dengan curhatan, Hubert yang ngerasa dipehapein sama Ibunya. 

Bisa dibilang 80% bagian film ini isinya tentang perdebatan mereka, dan sebagian besar masalah yang mereka perdebatkan sebenarnya sepele. Bisa mereka tertawakan dan lupakan. Tapi dengan sifat masing-masing yaitu Hubert yang sensitif dan Ibunya yang keras, perdebatan itu jadi parade kata-kata kasar yang keluar dari mulut seorang anak ke Ibunya. Yang nggak butuh waktu lama, ngebuat Hubert ngebunuh Ibunya...

.
.
.

... dalam tugas sekolah. 

Judul film ini adalah judul essay yang ditulis Hubert. Remaja ganteng dengan rambut kriwil di atas matanya itu hobi nulis, bahkan hobi bikin video diary. Karya tulis dan karya video diary-nya sama-sama menceritakan keresahannya sebagai anak. 
Lagi nge-vlog.
Oh iya, dia juga 'ngebunuh' Ibunya dengan bilang kira-kira, "Aku tulis profesi Bibiku saja. Ibuku sudah meninggal," pada gurunya, Julie Cloutier (Suzanne Clément). Hubert juga ngebunuh Ibunya dengan cara lain, yaitu pada saat Ibunya tau kalau dia ternyata adalah gay dan punya pacar bernama Antonin (François Arnaud).

Ibunya jadi ngerasa kehilangan Hubert yang dulu saat anaknya masih kecil, mereka dekat banget. Ibunya rindu, sama kayak Hubert yang rindu kelembutan seorang ibu.

Btw, sebenarnya sayang banget sik ngeliat Mas Dolan perannya jadi gay. Tapi anehnya, pas ngeliat kebersamaannya sama Antonin, itu malah bikin aku ngerasa nggak geli.

Kalau cemburu sih iya, tetep. Huhuhuhuhuhu.

"Ada pelangi di matamu~"
Tapi aku nggak termakan cemburu sih dengan nggak suka film ini. 

AKU SUKA BANGET. Kalau di tulisan sebelumnya aku bilang kalau nggak terlalu suka film animasi, maka aku bisa bilang kalau aku favoritin film bertema keluarga disfungsional. Aku suka drama keluarga disfungsional, tentang keluarga yang penuh pertikaian mulai dari ucapan kasar sampai main fisik, atau gaya hidupnya yang nyeleneh. Beda dengan keluarga kebanyakan. Film keluarga disfungsional yang nggak cuma disajikan dalam bentuk drama, tapi juga dalam bentuk komedi. Aku udah beberapa kali ngulas film-film jenis itu, dengan penuh keengasan dan cinta berlebih. 

Btw, kontras yak. Nggak suka film animasi, tapi sukanya film tentang keluarga 'nggak beres.' Huhuhuhuhu.

Tapi ya gimana. Aku suka film-film yang 'seindah' ini. Ya, indah. I Killed My Mother menurutku adalah film yang stylish dan cantik. Makan kue belepotan terus di-zoom, adegan slow motion ngebongkarin bed cover, dan adegan ena-ena colorful, bikin aku mikir kalau film ini benar-benar mencintai keindahan dari pengambilan gambarnya. Jadi walaupun tema film ini cukup 'panas,' tapi penyajian adegannya tetap bikin 'adem.'

Mas Dolan, di usianya yang semuda (sekali lagi, waktu itu dia masih 20 tahun, bajingaaaaaaaaaks) itu, lumrahnya bikin film romance. Mengingat kalau usia muda identik dengan cinta-cintaan. Tapi dia malah bikin film tentang hubungan Ibu-anak yang bermasalah. Gils bijik gils. Sungguh ketengikan yang patut dikagumi. 

Tapi I Killed My Mother menurutku juga berhamburan quote yang nggak kalah banyak dari quote-quote yang disemburkan film-film romance sebangsa London Love Story dkk.

Beberapa di antaranya yaitu,




Quote yang terakhir romantisya.

Film ini memang cenderung kelam, depresif, bikin yang sakit gigi jadi kesal karena denger ucapan nada tinggi. Dari judulnya sendiri aja kayak ngasih tau kalau ini film yang bisa bikin orang yang sukanya asal nge-judge film jadi makin nge-judge dengan emosi.

Tapi film ini menurutku nggak menggurui. Film ini menurutku nggak ngebuat kita mau memihak ke siapa. Apakah ke Ibunya Hubert, atau ke Hubertnya.

Ibunya Hubert nggak digambarkan kayak ibu-ibu yang tersiksa di sinema religi Indosiar. Rasa khawatir, kecewa, dan sedih, dia tunjukkan hanya dengan muka 'enteng'nya. Bukan dengan linangan airmata berlebih apalagi lantunan cerita rakyat Malin Kundang. Dia bersenandung menyembunyikan kekesalannya pada sang anak, dia membiarkan Hubert mengomel, dia memalingkan wajahnya dan ogah disentuh. Anne Dorval ternyata memang berbakat jadi Ibu yang bermasalah sama anaknya Nggak cuma waktu di Mommy.

Anne Dorval di I Killed My Mother.
Hal yang dipikirkan Ibunya Hubert pun kerasa dekat. Ada satu adegan di mana Ibunya Hubert ngomong kira-kira,

"Coba kamu buat survei, lihat teman-teman kamu. Apakah orangtua mereka sama kayak Ibu? Yang mau nganterin ke sekolah, yang ngajak kamu curhat?"

Ngingatin aku sama kalimat yang rutin menyembur dari mulut Mama.

"Coba, adakah orangtua yang kayak Mama di luar sana? Teman-temanmu ada nggak yang Mamanya pedulinya kayak Mama?"

Ibunya Hubert juga pernah bilang yang kira-kira, 

"Kamu mau tinggal pisah? Kamu aja nggak pernah nyuci baju sendiri."

Lagi-lagi bikin aku ngakak kecil sambil keingat Mamaku. Sama banget, anjir. Tiap aku bilang pengen nyobain ngerantau jauh dari rumah, Mama selalu mengungkit skill ibu rumah tanggaku yang nggak seberapa. 

Momen yang juga bikin ngakak kecil dari film ini adalah, saat basa-basi antara dua ibu yang nggak sengaja bertemu. Sama kayak Mommy, I Killed My Mother juga kaya akan dialog-dialog yang ada komedi gelap di dalamnya. Jadi ya, nggak tegang-tegang banget sih menurutku. 

Pikiran-pikiran liar dari Hubert pun sebenarnya tegang, tapi jadi nggak tegang karena aku ngerasa relate

"Jika aku dan Ibuku adalah orang asing, aku yakin kami bisa akur." pikir Hubert. Aku pun jujur, pernah punya pikiran sebajingak itu. Pasti rasanya bakal ngelegain kalau misalnya Mamaku dan aku nggak saling kenal. Mama jadi nggak bisa ngelarang aku ini itu. 

I Killed My Mother adalah film keluarga disfungsional yang bikin kepikiran tanpa ngerasa habis diceramahin. Menurutku, film ini nggak mengajarkan mana yang salah. Hubert dan Ibunya hanya harus saling mengalah. Atau seenggaknya, salah satu dari mereka harus berbaik hati mengubah watak demi menyempurnakan hubungan mereka. Tapi....

Nggak ada yang sempurna di dunia ini. Nggak ada manusia yang sempurna. Termasuk juga orangtua. 

Sedangkan banyak orang mikir kalau orangtua adalah sosok yang sempurna. Orangtua selalu benar. Orangtua nggak pernah salah. Anak yang salah. Anak yang harus disalahkan.

Mungkin bukan banyak orang yang berpikir kayak gitu. Mungkin kita memang harus  berpikir kayak gitu. Ingat, surga di telapak kaki ibu, lho.

Agama Islam mengajarkan kita sebagai anak harus memuliakan orangtua. Menomorsatukan orangtua. Oke. Itu pasti. Tapi bukan berarti kita sebagai anak nggak punya hak buat 'menyalahkan' orangtua atas tumbuh kembang kita, baik fisik maupun psikologis. Terutama psikologis. 

Posesif seolah ngasih tau kalau Yudhis jadi posesif karena Ibunya yang keras dan suka mukulin dia. Dogtooth ngasih tau kalau anak yang 'kaku' dan buta terhadap dunia luar, karena orangtuanya yang kelewat protektif. I, Tonya, ngasih tau (kalau yang aku liat dari trailer-nya dan kasus nyata si Tonya Harding itu) kalau didikan orang tua yang terlalu keras bisa menghasilkan anak yang terlalu ambisius sampai menghalalkan segala cara. 

Aku sempat bingung sama orang-orang yang main ngehujat film-film yang ada soal hubungan kurang baik antara orangtua dan anak. Apa mereka nggak mikir sampai situ? 

Atau mereka nggak mikir sampai situ karena kehidupannya dengan orangtuanya baik-baik aja?

Yuhuuuu. Beruntungnya mereka.

Gimana dengan para anak yang nggak baik-baik aja sama orangtua mereka?

Gimana dengan... aku, yang ngerasa nggak baik-baik aja sama Mamaku? Aku dan Mamaku yang suka berdebat mulai dari hal-hal sepele kayak hal di rumah sampai hal lumayan berat yaitu pekerjaan. Kami yang nggak dekat. Kami yang berteriak satu sama lain. Aku yang ngerasa benar dan menyalahkan Mamaku dengan bilang, 

"Mama yang ngajarin anaknya ngomong teriak-teriak. Mama dulu kan suka neriakin anaknya."

Aku selalu ngerasa bunuh diri tiap aku dan Mamaku berdebat. Aku ngebunuh diriku sebagai anak yang harus ngeiya-iyain, dan ngebangkitin orang yang ngerasa punya hak untuk hidupnya sendiri. I killed myself. Padahal mungkin aja, aku juga ngebunuh Mamaku. 

Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya sama diri sendiri,

Apa itu durhaka?

Menentang perintah orangtua yang nggak sejalan kita, anaknya? Ngomong blak-blakan soal apa yang kita rasakan ke orangtua? Berani pakai cara lain daripada pakai cara dari orangtua? Ngerasa berhak punya keputusan sendiri? Mencari role model lain yang patut dicontoh, bukan orangtua sendiri, demi menyongsong masa depan yang lebih baik? 

Alasan aku suka nonton film tentang keluarga disfungsional, tentang hubungan Ibu-anak, karena pengen nyari jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku itu.

Aku pengen tau. 

Aku benar-benar pengen tau.

Tapi aku tetap masih nggak tau. 

Yang ada aku ngerasa relate sama Hubert. Aku masih kengiang-ngiang ucapannya yang,

"Ini adalah paradoks dari memiliki ibu. Bahwa aku tak mampu mencintainya. Tapi juga tidak mampu untuk tidak mencintainya.”

Bajingak. Tulisan kali ini curhat sensitif.

You Might Also Like

13 komentar

  1. Balasan
    1. BAJINGAN. SYUKUR UDAH SEMPET COPY DULU.

      Itu dia aslinya homo betulan nggak, Cha? Biasanya, kan, ada yang suka mengaitkan kalau sebuah karya adalah bentuk curhatnya. Jadi, bisa jadi film itu tentang hidupnya yang nggak rukun sama ibunya dan homonya juga. Wqwq.

      Jarang bermasalah sama ibu, sih. Sekalinya konflik, ya gitu deh. Parah. Cuma setelah itu baik-baik aja. Hahaha. Kebanyakan sama ayah kalau saya. Hubungan keluarga yang baik-baik aja kayak gimana, sih? Saya nggak ngerti atau udah lupa keadaan itu. :(

      Hapus
    2. sama kaya Yoga, itu Mas Dolan beneran homo nga sih? wqwqq

      Hapus
    3. Dari yang kubaca, Xavier Dolan memang bilang kalau film pertamanya ini semacam autobiografi hidupnya. Jadi film ini dibikin sebagai perantara coming out kalau dia gay. Goks ya, bukan cuma bikin film di usia 20 tahun, tapi dia juga bikin 'keputusan' besar di usianya yang semuda itu. :))

      Hapus
  2. diawali dengan hhhhhhhh dan ternyata keseluruhan isi postnya tida begitu parah wqwq makanya jangan ngejas, Tom

    soal ibu-anak, kalau aku sih lagi ngerasa ibuku lagi ingin diperhatikan tapi ku gatau caranya dia pengin diperhatiin kaya gimana. dan di usia yang segede ini masi ngerasa ibu terlalu overprotektif.
    lah kok kujadi tsurhat gini hhaadehh

    16 tahun? anju ku 16 tahun lagi ketagihan mario bros.

    BalasHapus
  3. Udah lama gak blogwalking

    Blogwalking ke blognya Icha

    Kalimat pertama...."Aku, yang berawal dari cairan lengket berbau amis, sebut saja peju." Cuuuk!!

    Keknya blog ini bakal jadi panutanqu jika ingin mencari film-film kece dan syahdu

    BalasHapus
  4. Waktu Hubert bilang "Bagaimana kalau aku mati hari ini?" terus dijawab ibunya "Besoknya aku mati." Itu bagian yang bikin kemachoanku runtuh. Fak. Kirain Mommy udah masterpis, ternyata ini nggak kalah bagus.

    Tapi mungkin banyak yang skeptis ya kalau baca sinopsis atau premis film ini, apalagi latar belakang seksual tokoh utamanya. Padahal tema besarnya tentang keluarga. Lagian adegan ena-enanya cuma seuprit. Seingatku sekali, dan adegan itu malah dibikin dengan unsur seni tinggi!

    Kak Dolan ini selain bikin kagum, juga bikin rendah diri. Di usia 20 tahun udah bikin film panjang. Ditulis, disutradarai, diproduseri, dan ngurusin tata kostumnya pun oleh diri sendiri. Aku di umur segitu masih sibuk main tanah liat. DUNIA INI TIDAK ADIL! :(

    BalasHapus
  5. Entah rasanya sangat sulit untuk berkomentar disini. Jarang nonton. Tapi... Ini kenapa pembukaannya apa banget!! Untung penutupnya ada bawa bawa agama. Sungguh pertimbangan yang berat! 😂😂

    Terkait film ibu dan anak ini.. Aku jadi teringat sebuah kalimat "aku milik suamiku dan suamiku milik ibunya" karena kalimat itu aku jadi terinspirasi pengen punya anak lelaki.. 😅😅

    Oh ya Cha.. Belajarlah jadi ibu rumah tangga yang baik ya.. 😀😀😀

    BalasHapus

  6. ini yang aku suka kalau baca tulisanmu tentang reviw film, engga sekedar review film, tapi km juga jadi mikir dan beropini, dan akhirnya bikin aku yang baca jadi mikir juga,

    btw aku ga nemu ya trailernya di youtube, ada sih tapi versi yang udah di dubbing ke bahasa Jerman, dan aneh cha wwkwkwkwk

    BalasHapus
  7. Chaaaaa selera film-mu, kok beda banget ya sama aku. Aku takut, gak berani nonton film-film begini. Takut nggak mood, kesel, kepikiran. Akhir-akhir ini aku nyari aman, nonton film animasi atau comedy. T_T

    Btw, serius pernah ngomong gitu ke mamamu Cha? Kirain kamu tuh tipe anak penurut 100% lahir batin. Kirain cuma aku, anak perempuan yang nggak nurut.

    Btw, iya sih, Mas Dolan ganteng... Setuju kalau ini.

    BalasHapus
  8. Kan kalo gasalah kamu juga pernah nonton/nglas film gay yg negro2 kemaren itu, Cha. jadi kalo di film ini ada sedikit hubungan gay nya ya fine fine aja.

    saya juga keseringan nonton film bertema keluarga, cuma ranahnya bollywood. kalo barat2 gitu tetep ada sih, tapi lupa judulnya. syaa mah nonton2 aja. keingetnya yg Daddy's home, gak begitu menyentuh, tapi lumayan lucu. gimana perjuangan bapak tiri agar diakui anak tirinya di saat ayah aslinya datang ke keluarganya ngerecokin.

    kalo fast and furious, saya gasuka nyebutnya dgn film keluarga, kalimat dome nya aja yg sering nyebut2 keluarga. tapi dari FF7 dan FF8 gak ada kekeluargaannya.

    masalah hubungan anak dan emak ini kayaknya smeua ngalami, cuma tingkatan depresinya beda. ada yg kesel2an mulu, dan gabetah di rumah, tapi karena udh lama gajumpa (rantau) jadi baik2 aja dan selalu telponan. yg jelas, mau sekuat apapun pertengakarannya, sekuat apapun benci yg ditimbulkannya, dari sudut emak, dia gapernah benci. tau deh kalo dari sudut anaknya. ini juga saya ngomong apaan dah.

    BalasHapus
  9. Jadi makin sedikit stok "pria" tampan klo bener mas dolan aslinya gay. Jadi penasaran sama filmnya.

    Kalau tentang hubungan ibu dan anak, aku pikir sih kalau belum pernah jd ortu belum akan mengerti kenapa beliau bersikap seperti mengekang anaknya. Kalau anaknya pasti merasa jd ga punya kebebasan,tapi kalau tidak ada larangan mana tau batasannya. Kadang sudah tau aja ditrobos.karena ortu sudah lebih dulu melalui atau menyaksikan cerita2 hidup yg buruk dan berusaha menjauhkan anaknya dari hal2 itu

    BalasHapus
  10. Brengsek emang..

    Curhatan gue langsung di baris pertama bajingak! Hahahahaha

    Suka banget reviewnya. Dari ngebaca curhatanmu itu aku jadi mikir kayanya aku juga punya masalah yang sama. Pengen ngerantau tapi selalu dikasih tau hal-hal yang bikin aku drop. Oleh Mama pastinya. Siapa lagi?

    Curhatku sebagian besar udah terwakili di tulisanmu ini, Cha! Ternyata kita punya permasalahan yang hampir sama yak hahahah.. ku kira aku aja yang kaya gitu

    BalasHapus