Iklan Lifebouy

"Ibu, aku bukan anak kecil lagi." tulis Owi di akun path-nya.

Buat aku ngegumam,

"Ada apa lagi dia sama mamanya?"


"Pasti dikolotin lagi."

"Dilarang jalan ni kayaknya."

"Mamanya kayaknya makin cocok temenan sama mamaku, sama-sama protektif"

"Atau Owi cuma mau niruin apa yg dibilang anak kecil di iklan lifebouy terbaru?"

Status path Owi bikin aku ngerasa kami ga beda jauh. Ralat, sebenarnya aku ngerasa kami ga beda jauh itu udah lama, tapi dengan ngebaca stat itu, aku kayak diingatkan lagi saat-saat aku dan Owi saling curhat tentang orang tua masing-masing. Tentang larangan mereka yg kami pikir itu over, tentang rasa kekhawatiran mereka yg berlebihan, tentang rasa percaya dan ijin mereka yang buat kami harus berusaha agar kami dapatkan, beda dengan anak-anak lain yg bisa jalan tanpa perlu ijin, tentang hape yg rajin berdering buat nanyain lagi dimana atau nyuruh cepat pulang
Aku pikir cuma aku ratu pingit di dunia, tapi ternyata aku ketemu orang yang hidupnya ga bebas kayak aku. Owi dan aku bisa dibilang udah cukup sering berbagi cerita dan air mata plus tawa soal itu, betapa kami pengen kayak anak-anak lain yg dipercayai penuh sama orangtuanya.

Karena kami udah dewasa. Tau yg mana yang benar dan yang salah. Kami bukan anak kecil lagi.

Beberapa hari lalu aku pengennnn banget ngomong gitu ke Mama, dengan kata 'kami' diganti 'aku'. Beberapa hari dengan ego nguasain aku. Pas aku ga dibolehin jalan, pas aku diingatkan terus-terusan sampe muak, pas aku disuruh dan aku selalu bilang nanti. Syukurnya cuma pengen dan gak kelaksana, karena kemaren dan hari ini, aku sakit. Hari ini aku ga turun kerja. Dan pas aku sakit gini, yang paling kubutuhin yaitu Mama. Kedua, Bapak. Karena Bapak gak ada di Samarinda, satu-satunya yang kubutuhin yaitu Mama.

Iya sih aku memang butuh obat, selimut (atau lebih tepatnya bed cover yg ku jadikan selimut) kotak-kotak kumalku, selimut (ini selimut beneran) tebalku, kompres, kaos kaki untuk membalut kakiku yg kedinginan. Tapi aku lebih butuh Mama. Dari dulu, dari kecil sampe aku tua bangka  gini, kalo aku lagi sakit pasti aku teriak-teriak manggil Mama. Pasti Mama minumin aku obat, air hangat. Pasti Mama ngambil selimut tebal yang nyaris ga pernah ku jamah. Pasti Mama ngompresin aku. Pasti Mama nyuapin aku nasi sop, makanan yang jarang mau kumakan kalo aku lagi dalam keadaan sehat. Pasti Mama ngomel-ngomel, sambil tangannya tak berhenti membelai kepalaku. Pasti Mama selalu disampingku.

Kata Mama, aku kalah sama Khansa. Ini Khansa lagi sakit juga, dia muntah-muntah terus dari kemaren malam. Tapi anehnya dia gada nangis, gak rewel, dia anteng kayak biasa cuman ga banyak ngoceh. Itu aja.
Haha, aku manja ya?

Jujur aku malu. Selain sama umur, aku juga malu sama egoku sendiri. Manaaa yang katanya Icha ga butuh Mama? Manaaa Icha yang udah tau ini itu benar atau salah? Manaaa Icha yang bisa ngatasin masalahnya sendiri tanpa campur tangan dan pikiran kolot Mama? Pada akhirnya, gak ada  juga kan Icha itu?

Dan sekarang aku udah sembuh. Bukan karena obat itu atau kompresan itu. Tapi karena Mama yang masih menganggapku sebagai anak kecil. Anaknya yang mengaku dirinya sudah dewasa padahal masih dalam tahap belajar. Belajar untuk dewasa.

You Might Also Like

0 komentar