Cahaya Dari Tulus Buat Lights Out

Tanggal 16 Agustus, untuk pertama kalinya aku nonton bareng Nanda. Adikku yang berumur 19 tahun otw 20 tahun, tapi postur badannya kayak anak umur 14 tahun. 

Kami berdua nonton Lights Out, film horror yang digadang-gadang jadi film horror terbaik tahun ini. 

Sumber: Movfreak

Ya, selama aku menjabat jadi kakak kandungnya, aku nggak pernah nonton sama dia. Habisnya dia lebih suka karaokean daripada nonton. Trus selain muka kami yang nggak ada kompak-kompaknya, alias nggak mirip, beda, selera film kami juga beda. Dia suka nonton film horror. Yang itu artinya, dia jauh lebih pemberani dibanding aku. 

Tapi kalau nonton film di laptop, masih suka barengan kok. Nonton film dari berbagai negara. Misalnya nonton Scarlet Innocence dari Korea, Jan Dara dari Thailand, dan Blue Is The Warmest Colour dari Perancis. 

Sialan. Baru nyadar kalau itu film semi semua. 

Dan baru nyadar kalau film Lights Out diadaptasi dari film pendek berjudul sama yang rilis tahun 2013. Gara-gara baca review Movienthusiast dan denger celetukan Nanda yang, 

“Ndese! Ini film yang dulu kau tonton itu nah! Yang kau cerita sama saya kalau kau teriak sampe ditanyain user!”

Refleks aku keingat masa-masa waktu jadi Customer Service. Aku nonton film pendek itu dan spontan teriak karena ada penampakan hantu jelek. Pas selesai nonton, aku takut nyentuh saklar lampu kantor. Aku yang biasanya keluar kantor paling lambat, entah karena masih download lagu pake wi-fi atau berlambat-lambat masang helm, langsung gerak cepat kalau udah jam pulang. Takut keluar paling terakhir dan harus matiin lampu. Huhuhu.

Aku pun penasaran buat nonton versi layar lebarnya. 

Penasaran, apakah seseram film pendeknya. Penasaran, gimana rasanya orang yang takut gelap kayak aku nonton film tentang gelap-gelapan. Penasaran, apakah Nanda bakal nganggap aku kakaknya lagi, karena aku teriak-teriak norak ketakutan di dalam teater trus bikin dia malu. 

Dan rasa penasaranku kejawab. Tapi filmnya nggak seseram yang aku kira. Seramnya nggak membekas sampe pulang ke rumah. Kalau boleh milih, lebih seram film pendeknya sih. Tapi ada hal lain dari Lights Out yang bikin aku mutusin buat nulis review baper ini. 

Lights Out bercerita tentang Rebecca (Teresa Palmer), yang pisah rumah sama Ibunya, Sophie (Maria Bello) dan adiknya yang bikin tante kegirangan macam aku jadi gemes, Martin (Gabriel Bateman). Rebecca nggak tahan sama sikap Ibunya yang makin hari makin aneh karena ditinggal mati sang suami, juga nggak tahan sama ketakutannya sama rumahnya sendiri. Ibunya suka ngomong sendiri, dan ada penampakan perempuan berdiri dengan rambut awut-awutan tiap lampu rumah dimatiin. 

Rebecca nggak sendirian, karena ternyata Martin juga ngalamin hal yang sama. Bahkan dia sampe nggak bisa tidur saking takutnya. Martin pun merengek minta tinggal bareng sama Rebecca aja. Ada scene di mana Rebecca mau bawa Martin, dan terjadilah drama Ibu-anak. Yang bukannya bikin tegang, malah bikin ngakak. Bukannya karena adegan itu konyol, tapi karena....

“Ndese, coba kau bayangkan kalau Rebecca itu Kak Dayah. Trus Kak Dayah bawa kita berdua ke rumahnya karena Mama marah-marah terus sama kita.”

Aku spontan ngakak, trus ngejawab, 

“Kak Dayah bilang berhenti-berlaku-sinting gitu sama Mama?”

“Iya. Hahahaha.”

Fix. Kami anak durhaka. Sempat-sempatnya ngaitin sama Mama di rumah.

Tapi kepindahan Martin ke rumah Rebecca, nggak ngaruh sih. Karena si hantu sialan nggak shampoan itu masih aja ngeganggu Martin, juga Rebecca. Dan ternyata dia punya nama, yaitu Diana. Dan ternyata Diana ini sahabatnya Sophie. Dan ternyata (ini mulu kata-katanya anjir!) perlakuan sinting Sophie selama ini karena dia masih ‘menjalin persahabatan’ sama Diana, walaupun Diana udah mati.

Jadi, tugas Rebecca dan Martin sebagai anak, yaitu membebaskan Sophie dari jeratan Diana. 

Lagi was-was di ruang remang-remang.
Sumber: Tahufilm 

Sahabat Ibu mereka itu punya kelemahan, yaitu nggak bisa ngeliat cahaya. Jadi dia munculnya pas lampu dimatiin doang. Ya, mirip-mirip Edward Cullen gitu lah nggak bisa kena cahaya, walaupun cahayanya beda. 

Dan bedanya lagi, Diana nggak bakal ngebuat kita jatuh cinta. Diana ngeselin abis! Sumpah! Sialaaaan! Seram anjir!

Seperti yang aku bilang di awal, Lights Out nggak seseram yang aku kira. Tapi bukan berarti Lights Out adalah film horror yang konyol. Diana adalah hantu sebenar-benarnya hantu daripada Valak. Momen kemunculan Diana yang selalu dengan lampu mati, bikin aku jadi was-was. 

Penonton Lights Out hari itu nggak rame, jadinya banyak bangku kosong, termasuk sebarisan bangku di depan aku dan Nanda. Jadinya parno sendiri. Takut tiba-tiba ada yang muncul dari balik bangku, trus nyipok. Eh maksudnya, nyeret gitu kayak Diana nyeret Martin. 

Sayangnya, film ini kurang lama. Tau-tau udah habis aja. Ternyata durasi filmnya 81 menit. Pantesan aja. Trus hantunya kayaknya nggak punya kemampuan lain selain muncul pas gelap, dan nyeret orang seenaknya. 

Mungkin karena itu aku nganggap film ini nggak seram banget. Atau mungkin aku jauh lebih takut nggak dapat jodoh sampe umur 24 tahun daripada takut sama remang-remangnya film ini. Entahlah. 

Untuk ending-nya, aku setuju sama yang dibilang Movienthusiast. Terkesan cheesy. Kalau kata Nanda, ending-nya aneh. Masa’ untuk ending seemosional itu, Martin yang masih kecil itu nggak nangis? 

Sedangkan menurut aku, itu adalah ending yang diharapkan sang sutradara, David Sandberg, jadi ending yang nggak terduga-duga. Memang nggak terduga-duga sih, tapi jadinya... apaan-sih-anjir-ending-nya-kenapa-gitu-dah-kayak-nggak-ada-ending-lain-aja.

Tapi secara keseluruhan, aku suka Lights Out. Film remang-remang ini ada unsur psikologisnya, seolah ngasih tau ke kita kalau kesepian bisa mengantarkan kita pada orang yang salah. Kayak yang dilakuin Sophie ke Diana. Menurutku, Sophie yang udah kesepian karena ditinggal mati sang suami, tambah kesepian lagi karena Rebecca pergi dari rumah. Yaudah, Diana pun diundang Sophie (atau datang?) karena kesepian itu.

Lalu Diana nggak konyol kayak Valak. Scene demi scene lampu matinya sukses bikin aku jejeritan. Walaupun sebenarnya bikin aku mikir, itu si Diana kalau didatangkan Wota yang bawa-bawa light stick, pasti keder juga. 

Drama Ibu dan anaknya, bikin aku ingat sama aku dan Mamaku yang suka debat soal hal-hal kecil. Trus aku ngakak pas Martin nanya sama Sophie, 

“Ibu, sudah minum vitaminnya?”

Bikin aku ingat sama kebiasaan aku dan Nanda yang suka nanyain Mama dengan pertanyaan, 

“Ma, sudah diminum kah Omeprosnya?’

Akting para pemainnya pada keren. Teressa Palmer berhasil ngebawain karakter Rebecca, sang kakak beradik satu yang tangguh dan mandiri. Selain tangguh dan mandiri karena hidup sendiri, tapi juga tangguh dari gombalan Bert (Alexander DiPersia), teman kencannya. 

Nah, karakter Bert juga sukses mencuri perhatianku selain karakter Martin. Bert ini kocak sih. Dia ngarep bener sama Rebecca yang mau-tapi-terlihat-nggak-mau. Dia juga ngebantuin Rebecca buat ngungkap siapa sebenarnya Diana. 

Aku suka waktu Bert ‘ketemu’ sama Diana. Bert pake media apa aja buat bisa bikin Diana mundur. Bikin ngakak dan berdecak kagum pas ngeliat scene itu. Bert udah kayak anak susu Vidoran Xmart. Banyak akalnya. 

Bisa dibilang, aku jatuh cinta sama karakter Bert. Walaupun jatuhnya nggak sedalam Rebecca. 

Rebecca yang awalnya kayak males ngejalin hubungan sama Bert, lambat laun jadi nggak bisa jauh dari Bert. Rebecca jadi percaya sama Bert. Karena Bert, Rebecca jadi percaya pada diri dan mampunya. Bert seolah percaya, kalau Rebecca adalah cahaya. Jadi Rebecca nggak perlu takut gelap lagi. 

Bert dan Becca. Jodoh nih ye. Huruf depannya sama. Yuhuuu~
Sumber: Google Image

Selesai nonton Lights Out, aku nggak ngerasa dihantui Diana yang mukanya lebih jelek dari aku itu. Tapi ngerasa dihantui sama kisah cinta Rebecca-Bert. Ini perasaan yang kurang lebih sama kayak waktu nonton The Conjuring 2, pas ngeliat romansa Ed-Lorraine. 

Bedanya, The Conjuring 2 punya soundtrack yang ngedukung kebaperanku, yaitu lagu Can’t Help Fallin’ In Love-nya Elvis Presley. Sedangkan Lights Out, nggak punya soundtrack yang bikin baper. 

Kalau boleh ngusulin, atau berkhayal deh, aku pengen soundtrack buat Lights Out itu....

Lagu Cahaya-nya Tulus. 


Hehehe. He. He.

Aku eargasme sama Cahaya. Lagu dari album terbaru Tulus, Monokrom itu bercerita tentang Tulus yang berusaha ngeyakinin perempuan yang dia suka, kalau perempuan itu udah bikin Tulus jatuh cinta. Kalau perempuan itu nggak perlu takut cinta. Kalau perempuan itu nggak perlu minder, apalagi ngerasa nggak berharga. 

Bagi Tulus, perempuan itu nggak sekelam yang dikira perempuan itu sendiri. Perempuan itu adalah cahaya. 

Aku paling suka liriknya yang, 

“Semampuku kau akrab dengan senyum dan tawa. Semampuku tak lagi perlu kau takut cinta.”

Sama yang, 

“Duhai cahaya, terima aku. Aku ingin kau lihat apa yang kau punya. Aku ingin kau kembali bisa percaya pada diri dan mampumu.” 

Dengan sotoynya aku nganggap kalau sikap rada dinginnya Rebecca ke Bert pas di awal film, karena Rebecca nggak mau Bert tau tentang kisah keluarganya yang kelam itu. Dengan gilanya aku nganggap kalau lagu Cahaya ini lagu Bert banget buat Rebecca. Bert yang berusaha ngeyakinin Rebecca. Ngeyakininnya delapan bulan, coy. Kalau kata Cenayang Film, Bert itu lelaki sabar karena udah mau friendzone-an sama Rebecca selama itu. Duh, Bert manis amat dah. 

Apalagi ada scene di mana Bert nenangin Rebecca dan Martin yang masih takut sama gelap. Scene itu seolah memvisualisasikan lirik Cahaya yang, 

“Aku pastikan jalanmu terang.”

Lights Out dan Cahaya, nggak bikin aku tambah takut gelap lampu dimatiin. Yang aku takutin, yang baca ini pada gelap mata. Marah nggak terkendali, hilang kesadaran, khilaf apa segala macam karena mikir ini-review-apaan-bangke. Ada cinta-cintaan dan lagunya Tulus segala anjir.

Huhuhu. 

Jangan gelap mata, ya. Apalagi gelap hati. Gelap-gelapan aja sini yuk sama aku.

You Might Also Like

28 komentar

  1. Suka heran, selalu di stiap scene tema film barat apapun ada tokoh cewe cowoknya trus jadian #semacam biar jadi pmikat penonton ya biar ga ngantuk

    Brarti hantu diana ini masi tetep muda ya cha walo si sohibnya (huaa bahasanya jadul beddd, sohib) aka ibu pemeran utsmanya uda punya anak gede?

    Kok aku ngakak ya pas kamu bilang ga sekonyol valak
    Fix, ini film hantu mau deh aku cari...cuma aku sekarang selektif cha klo nonton film, maunya yg keluaran wb, sony picture, mentoknya columbia..ini produksi manakah,?

    #oya cha mau kasi saran dikiiiiit banget, hahaa...semoga icha berkenan, berhubung blog aku sekarang mau kukasi pencitraan positif LOL, jadi misal pas icha naruh postingan komentar di blog aku,icha jangan nyelipin kata blue material ya heheeee...piece, thx u

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahahaha. Iya juga ya, Mbak Nit. Pasti ada bumbu percintaannya gitu deh. Iya ya, supaya yang nonton nggak ngantuk kali ya. Sama yang penakut, jadi tambah penakut gitu sama pacarnya. Hahaha. Ini apa dah.

      Ngg... muda nggak ya? Yang aku tau si Diana ini mukanya jelek aja. Hahaha. Sohib. Masih keren kok bahasanya. Eh si Diana ini badannya kecil gitu, Mbak Nit. Iya deh, kayaknya masih muda gitu :D

      Ahahaha. Iya soalnya Valak itu jadi bahan bully-an para netizen. Kan konyol. Kan kasihan :( Nah aku nggak tau Lights Out keluaran mana. Taunya diproduserin sama James Wan, sutradaranya The Conjuring. Coba nonton film pendeknya juga, Mbak Nit. Trus nanti bandingkan deh sama filmnya :D

      BAHAHAHAHA. AHAHAHAHAHAHA. BRUAKAKAKAKAK. AKU NGAKAK YA ALLAH AMPUNI AKU HAHAHA. Ya ampun, Mbak Nit. Maaf yaaaaa. Duh aku menghinakan kolom komentar orang. Iya oke deh. Aku nggak gitu lagi. Aku nggak nakal lagi :'D Kalau perlu hapus aja komennya itu nggak papa, ntar aku komen lagi, Mbak Nit. Huaahahaha makasih lho ya sama kritik dan sarannya. :'D

      Hapus
  2. Aku bacanya ini pukul 1 am dan kamar lampunya dimatiin. Huuu... jadi was was lirikin jendela.

    Sebenarnya aku g takut gelap, tapi emang kurang seneng nonton horror. Sountrack itu yang bikin serem dan kaget.

    Gila, jangan sampai deh ngerasa kesepian dan manggil setan begitu, bikin hidup g tenang aja.

    Apa? Lebih takut g ketemu jodoh?! Kok rasanya sama:v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah pas banget gitu, Rum. Moga nggak ada Diana di kamarmu ya. Huahahahaha.

      Iya aku juga nggak suka nonton film horror. Kita samaaaaa.

      Aku penakut parah. Untungnya filmnya ini nggak nakutin banget sih.

      Hahahahaha. Mending manggilin tetangga ya daripada manggilin setan xD

      Iya HAHAHAHAHA. Kita sama lagi, Rum. Nggak dapat jodoh di umur yang jadi target nikah itu serem :(

      Hapus
    2. ooh jadi kalo cewe hal yang paling serem gak dapet-dapet jodoh juga di umur yang jadi target ya.
      *sama juga sih..bahahaey

      Hapus
    3. OH COWOK JUGA PUNYA KETAKUTAN YANG SAMAAAA? HUAAA HAHAHAHA. 😂😂😂

      Hapus
  3. Review demi review yg lu buat, gua perhatiin kayaknya lu menjiwai banget ya kalo nonton film, makanya bisa dikupas2 jadi review gini. Terus imajinatif, disambungin ke mana-mana. Salut!

    Anyway, gua rada susah ngebayangin seremnya Diana karena lu bandinginnya sama Valak. Gua belom nonton Conjuring 2. Coba sama Susana, pasti gua lebih ngerti. Hehehe...

    Eituh parah banget si adeknya diajak nobar film semi. Kakak macam apa kau ini?!
    ... ajak gua dong biar threesome! #EH

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh Tata kalau muji kebangetan dah. Huehehehe. Aku terlalu baper jadi orang, Ta. Makanya kalau review jadi kemana-mana. Thanks a lot buat pujiannya yaaa! :D

      Bahahaha. Okaaaay. Lebih serem Suzana kok, Ta. Tenang. Sosok hantu legendaris Indonesia itu tak terkalahkan.

      NGAKAK HAHAHAHA. Cuss ke Samarinda, Ta. Marathon tiga film di atas sekaligus :'D

      Hapus
  4. Mayan yah, bikin penasaran juga. Tapi 81 menit doang? Ending cheesy? Ah, tunggu DVD bajakannya aja dah.. Cuma 7 rebu per keping, nonton sambil leyeh-leyeh kutangan doang.. ahhahakk...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih. Mending nonton yang lain aja dirimu ya. Sebenarnya sempat nyesel sih aku kenapa nggak nonton The Nice Guys aja. Ada Ryan Gosling T____T

      Ikutan nunggu video leyeh-leyehnya ah kayak Robby :D

      Hapus
  5. Aku baca review ini abis subuh si, terus karena daya khayal ku yang tinggi aku jadi merinding pas baca ini, dan serem sendiri mau matiin lampu ruang tengah. huhuw
    Hahahah fix lah, ini aku harusnya manggil kamu mbak icha yaa..
    Nanda aja lebih tua dari aku. hhhmm
    Aku juga selama 18 taun ini baru sekali nonton bareng adik ku Mia, itu juga baru kemaren nonton Rudi habibie karena aku dan adikku anak yg polos-polos mana berani nonton film yang enggak-enggak. ngehehe :D
    Cakeeplah icha mah kalo suruh ngereview film, sabiii aja nyambung-nyambungin. btw, ini aku langsung download lagunya tulus yang cahaya lho ini abis baca postingan kamuh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huahahaha kasihan kamu, Dib. Maafin yaaaaaak. coba sekalian ditonton short movie-nya. Biar makin mantap daya khayalnya :D

      Halah nggak usah, Dib. Ku udah bahagia dipanggil Icha doang. Ngerasa masih muda dan ranum. Bahahaha.

      Ciyeee nonton sama adek. Iya jangan nonton begituan ya. Langsung begituan aja *ini apa dah*

      Yuhuuu~ Lagunya Cahaya keren banget kaaaaaaan :D

      Hapus
  6. Ah baca review nya kak icha jadi pngin nnton juga. Tapi it hantu diana rambutnya awut2an jangan-jangan malemnya habis nangisin mantan:") haha, btw salam kenal kak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huahahaha iya bisa jadi. Diananya selain susah move on dari Sophie, susah move on dari mantan yak :D

      Salam kenal juga, Ellen Page. Eh, Ellen Chindo :)

      Hapus
  7. Bisa banget dari film jadi review lagu. Tapi ini enak banget lagunya. Sukaa. Bakalan eargasme nih sama lagunya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dibisa-bisain, Her. Biarin deh maksa keliatannya. Hahahaha.

      Asik! Ada yang suka lagu Cahaya. Selamat eargasme deh kalau gitu :D

      Hapus
  8. Ah, enak kayak gitu bisa akur sama adik nonton film bareng2. Gue nggak pernah bisa nonton bareng kakak gue sampe sekarang.

    Kok judul lagunya kayak judul sinetron lawas ya? Mirip atau sama gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huehehehe. Ini juga akurnya jarang-jarang, Rob. A rare moment (apa pula itu rare moment hahaha) :'D

      Nanti ajakin dong kakak kamu. Atau mau ajakin kakak ketemu gede aja? :p

      Iya memang mirip sama film lawas. Pas gugling aku ada nemu gambar film lawas itu Kamu peka deh, Rob. Hahaha.

      Hapus
  9. eh Cha kau pandai juga kalo ngreview film, betah bacanya. apalagi kalo pas film yang belum ku tonton.

    lha valak aja kayak kek gimana seremnya aku gak tau, apalagi yang ini.
    ngomong-ngomong salam buat adekmu ya Cha.. hahaaey.
    kalo horor thriller itu lebih seru menurutku.

    eh lah pendek bener filmnya cuma 81 menit.
    eh tapi jadi pingin nonton, penasaran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huahahaha. Makasih, Di. Ini mah review-nya masih abal!-abal. :'D

      Huehehe. Gugling aja, sumpah nggak ada serem-seremnnya itu si Valak. Huhuhu. Iya horror thriller lebih menegangkan yak.

      Salam balik buat Kakak Adi :D

      Download aja dah kalo gitu, Di :D

      Hapus
  10. Akhirnya, saran gue diterapkan. Nice banget cha. Nyaman pol deh...

    Film horor, ya cha. Hem... Gue kemaren ada sih, nonton film horor, judulnya Visions. Asli, deh. Itu film emang unsur detak jantungnya sering kelewatan. Beberapakali gue sampe nyebutin kebun binatang.

    Kalo soal film Loghts Out, emang di film pendeknya lebih serem, sih. Karena kalo bikin serem selama 81 menit itu, gak gampang juga. Gak heran dong, film horor Indonesia sering ditaburi komedi.

    Tapi, gue kurang ngerasa nyaman sama kisah cintanya Rebecca. Agak terkesan pengen, tapi gak mau nyoba. Jadi, kesannya perjuangan cintanya jadi seakan gimana gitu...

    Terus, pengennya gue nonton film pendeknya aja. LEbih nemu feelnya. Hehehe.

    Cha, yuk, kita gelap-gelapan. XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe. Iya nih, Pange. Makasih ya atas sarannya. :D

      Beberapa hari yang lalu aku ada baca sinopsis sama review film itu sih. Yang main ternyata salah satu aktris kesukaan aku. Isla Fisher. Tema filmnya haunted house trus tokoh utamanya punya kemampuan bisa ngeliat hantu gitu ya, Pange? Kayak seru deh. Wuidih sampe nyebutin kebun binatang. Fix filmnya serem.

      Iya bener. Film pendeknya serem, Pange. Sebentar tapi ngena. Nah iya setuju tuh. Bikin film horror itu nggak gampang.

      Pange nggak mau di-friendzone-in ya makanya kurang ngerasa nyaman? Huehehe.

      Yoi. Film pendeknya film pendeknya lebih dari film panjangnya BOOM!

      Bahahahahaha Pangeeeee! Gelap-gelapan. Pange nggak takut gelap ternyata. Kewren! :D

      Hapus
  11. Wahahahaha. Icha diajak gelap-gelapan sama Heru.

    Btw, Tulus bisa ada dimana-mana ya. Di post saya ada, di sini juga ada. Mungkin kalau nanti malam kamu matiin lampu, Tulus tiba-tiba muncul dan nyeret kamu ke KUA.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahahaha. Bang Haris cemburu nggak diajak sama Pangeran Wortel? Yaudin lah aku ngalah aja. Bang Haris aja yang gelap-gelapan sama Pangeran Wortel.

      Huahaha. Ampuuuun, Bang Har :'D

      Karena Tulus adalah manusia kuat. Kuat berada di mana-mana. Hahaha. Yeaah, aku pengen banget itu bisa kejadian, Bang. Pengen banget diseret ke KUA sama Tulus biar hidupku berwarna, nggak kayak lembar monokrom hitam putih lagi :'D

      Hapus
  12. Apaan ini dah baru 2-3 baris udah di-enter? Editor ngelihat tulisan kayak gini mah kesel woy! :))

    Serius cuma 81 menit? Gak sampe 90? Rugi gue kalo nonton film di bioskop bentar doang.
    Bukannya itu yang malah jadi pembeda, ya? Review film ada cinta-cintaan dan baper-bapernya?

    Ogah ah main gelap-gelapan. Kata nenek itu berbahaya.
    Salam buat Nanda~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaaaaaak dimarahin sama Yogalak :((((( Maafin, Yog. Ku cuma orang awam :(((

      Iya beneran. Bentar banget. Aku juga ngerasa rugi. Mending nonton The Nice Guys aja dah kemaren itu. Tapi untungnya filmnya nggak jelek-jelek banget.

      Huehehe. Iya sih. Jadi pembeda. Tapi takut aja dikira melenceng dari kaidah review film sebenarnya. Heleh. Apa pula kaidah segala :'D

      Hmm. Okaaay. Sholihin abis.

      Salam balik buat Yogaga Muhammad~

      Hapus
    2. Wahaha, habis gue gak ada yang komen lagi ternyata.

      Hapus